Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Jam di atas papan tulis itu masih menunjukkan pukul 06.55 WIB. 5 menit lagi bel, dan dia belum datang? Ah, sebenarnya buat apa aku menunggunya. Toh, kita hanya sekedar teman sekelas dan tak pernah mengobrol.
Cowok berjaket hitam dengan tudung jaket yang menutup di kepala akhirnya muncul. Seringai menyebalkan mengawali harinya di kelas ini.
"Telat lagi?" Tanya Fino, sang ketua kelas.
"Udah untung gue masuk," jawabnya sambil terbahak. Semua tingkahnya tak terlewat oleh netraku.
Namanya Danu, entah apa spesialnya hingga dia selalu menyita perhatianku. Kita tak pernah mengobrol, tapi kita seakan berkomunikasi lewat tatapan mata. Dia yang mengerling jahil, dan aku yang cepat-cepat mengalihkan pandangan. Hei, itu tak baik buat jantungku!
"Bil, pinjem bolpen dong!"
Aku menoleh. Menatap Danu yang berdiri di samping mejaku. "Pinjem bolpen," ucapnya lagi.
Aku menatap bolpenku. Hei, bolpenku sudah buluk. Tapi, ini bolpen kesayanganku.
"Nih."
"Oke, makasih." Dia berlalu menuju tempat duduknya. Selisih satu meja dari tempat dudukku.
Setelah itu, seperti biasa aku akan menangkap tatapannya. Entah, memang di jahil atau bagaimana. Dan lagi, aku akan cepat-cepat mengalihkan netraku.
Suatu hari aku pernah berganti tempat duduk dengan teman sebangku. Tapi, Danu selalu mengikuti. Jadi, aku dan dia selalu berseberangan. Membuat ekor mataku bisa melihat jika dia diam-diam menatap dari belakang. Ingin menegur tapi aku tak berani. Enggan berurusan dengan orang populer, dan Danu termasuk orang itu.
Semenjak hari itu. Bolpen kesayanganku belum Danu kembalikan. Sebulan kemudian ...
"Nih, bolpen lo. Habis tapi. Padahal gue nunggu lo ambil bolpennya," tukasnya sembari menyeringai tipis.
Bingung dengan tingkahnya. Habis kenapa dikembaliin? Ah, yasudah. Nanti tinggal dibuang.
"Nggak enak. Nanti lo masih pake."
Danu tersenyum, lalu berbalik ke bangkunya. Sebelum itu dia berkata, "padahal gue nunggu lo ngajak ngobrol duluan."
Sialnya, ucapan itu membuatku tak berani menoleh ke belakang. Lagi. Dia berhasil mengobrak-abrik hatiku. Wahai hati, jangan lemah!