Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di pengujung malam, remang-remang cakrawala mengais asa. Aku merenung di pengujung larut ketika gelap mengapit takzim, ingin meluruhkan dosanya. Rumput-rumput di mata tak lagi menghijau. Segalanya memucat dan terasa sia-sia. Langit yang dijunjung, dan gunung yang ingin didaki hanya tergambar dalam etalase. Sekarang pikiranku menerawang, bagaimana jikalau nisanku tanpa nama. Gaun kebesaranku hanya bersematkan kain putih nan panjang, dan sekilas bintang tak menggantungkan cahaya baikal meski telah malam. Lututku bergetar Saat kusadar, aku tak cukup memiliki bekal untuk berpalung di dalam tanah. Belum lama rasanya aku menggelar sajadah, memunajat ampun atas segala dosa di masa muda. Suara azan subuh telah berkumandang, sebelum jingganya mentari menerangi bumi. Aku bergegas beranjak dari gubuk nelangsaku menuju sebuah masjid yang tidak jauh dari tempat tinggalku. Masjid dengan warna cat daun yang diapit pemetang sawah itu, terlihat sama. Pintunya terbuka lebar menyambut setiap langkah untuk bersimpuh dihadapan Tuhannya. Kini nanar mataku terhenti pada dua lelaki bersorban di depan masjid dengan seorang lelaki berpenampilan rapi. Mereka beragumen diantara lantunan pengujung Azan. Aku yang berdiri ringkih hendak memasuki masjid, menghentikan langkahku sejenak. Aku berjalan dengan kaki rentaku menuju mereka. Terlihat lelaki berpakaian rapi, wajahnya begitu masam. Beberapa guratan di dahi muncul mengiringi nada suaranya yang tinggi. Salah satu lelaki bersorban pun tak kalah garangnya. Ia bersuara atas segala pendapatnya. Tiada yang menengahi argumen panjang tentang pro dan kontra Ibadah di masa pandemi yang akan berujung adu jontos itu.
Aku memilih untuk meninggalkan mereka, karena tanpa mereka sadari. Mereka sama saja, sibuk menarik lembaran buta pada sebuah masalah hingga mereka tidak menyadari mentari telah memerah dan fajar hendak muncul mencapai asanya. Apa gunanya sibuk mendebat, menjatuhkan satu sama lain. Ingin terlihat hebat atau paling taat.
"Hemparkan sajalah sajadahmu, Nak! Mentari telah naik!"
"Jangalah tunggu senja dulu, baru bersujud dihadapan-Nya!"
Selesai menjalankan sholat subuh. Langkah kaki rentaku mulai merakit asa berjalan menuju pusara dengan sebuah cangkul, aku mulai mencari sesuap nasi dengan menggali liang lahat. Aku bertasbih di dalam hati setiap detik cangkul yang kuhempaskan pada tanah merah itu. Sungguh terasa perih hati ini melihat begitu banyak mayat yang akan dikubur hari ini. Mereka adalah pasien Covid 19 yang gugur melawan ganasnya virus corona. Pergi meninggalkan anak, istri, dan keluarga sendirian. Setengah usiaku telah aku habiskan menjadi penggali kubur, tetapi kali inilah aku temui begitu banyak mayat yang harus dikuburkan. Tubuh rentaku tak sebugar dulu, napasku terdengar begitu pendek setiap mengangkat cangkul. Kupandangi mentari yang tanpa pamrih bersinar di atas kepalaku.Tiba-tiba pudar nyalang mataku. Segalanya terlihat gelap, detak jantungku berdebar lebih cepat. Udara yang masuk kehidung terasa terhenti dikerongkongan. Aku tidak bisa bernapas. Rasa dingin menjalar dari ujung kaki hingga ke kepala, tetapi keringat terus menetes membasahi tubuhku. Mungkin kali ini, aku menggali kuburan untuk diriku sendiri.