Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Setelah sekian lama menjalani bisnis ini, malam ini adalah kali pertama aku bertemu dengannya.Biasanya kami hanya saling berkomunikasi dengan email. Melakukan transaksi seputar kualitas dan harga.
Namun tidak malam ini. Ia mengatakan barangnya kali ini sangat istimewa, sehingga ia ingin mengantarnya sendiri.
"Itukah orangnya," gumamku seraya menatap ke seorang wanita muda yang usianya terlihat masih di pertengahan dua puluhan.
Aku mengangkat gelas minumanku, memberi isyarat kalau dia memang orang yang aku tunggu. Wanita itu menganggukkan kepalanya tiga kali,sebelum berjalan mendekat dan mengambil tempat duduk dihadapanku.
Aku terkesiap oleh penampilannya. Ia adalah perempuan Asia berwajah polos. Sikapnya yang apa adanya, membuat aku cepat merasa ingin mengenalnya lebih jauh.
Tapi penampilan tidak mencerminkan isi hati seseorang.
"Kenapa kau melihatku seperti itu?" Tanyanya dengan suara manis.
Aku mendapat kesan kalau nada manisnya, sama sekali tidak seperti yang terdengar. Bisa aku katakan kalau wnita ini adalah orang yang dingin dan penuh perhitungan.
"Sulit bagiku percaya untuk percaya kalau kau adalah orang yang selama ini berhubungan denganku." Aku berkata setelah menghabiskan minuman dalam gelasku.
"Apa ada yang salah?"
"Aku tidak tahu?" Aku mengangkat tangan memberi tanda kalau aku memesan beberapa botol minuman. "Hanya saja menjadi pertanyaan, apa yang membuat wanita sepolos dirimu berkecimpung dalam bisnis ini."
"Aku sendiri malah heran akan ketangguhanmu dalam menegak minuman keras. Kau harus mengkhawatirkan kesehatan lambungmu." Wanita itu diam sejenak. Menunggu pelayan yang mengantar bir itu berjalan agak jauh dari meja.
"Kenapa kau melihatnya dengan tatapan tajam seperti itu?"
"Dia seksi sekali, iyakan?" Wanita itu tersenyum. Tanpa melepaskan pandangan dari pelayan cantik yang telah kembali ke meja bar. "Maa yang lebih kau suka? Dada atau paha?"
"Ternyata kau lesbian, ya?"
"Jangan menilaiku secepat itu." Wanita itu kembali menatapku. "Tak perlu berlagak tangguh. Aku tahu dalam hatimu kau kecewa."
"Kecewa?"
"Pasti dalam perjalanan kali ini kau berharap akan mendapatkan pengalaman bersamaku."
"Kau terlalu percaya diri."
"Apa aku salah? Lalu untuk apa kau mengajakku ketemuan di Bali?"
"Kau yang mengajakku ketemuaan." Ralatku tajam.
"Tapi aku tidak pernah menyebut Bali." Ujarnya tersenyum.
"Bukankah kau mengatakan asalmu dari Bali?"
"Kau percaya?" Wanita itu tertawa. "Dalam pekerjaan ini kau tidak boleh percaya pada omonganku begitu saja."
"Apa yang aku takutkan?" Aku mendekat dan berbisik di telinganya. "Aku bisa menilai kalau kau jauh lebih gila dariku."
"Kau sama sekali tidak salah." Wanita itu mencium pipiku sebelum tertawa. "Haruskah kita pergi sekarang?"
"Di mana kau meletakkannya?"
"Sebuah rumah tidak jauh dari sini."
"Apa kau gila?" Aku bangkit dari dudukku. Mengikutinya yang menggandeng lenganku dengan mesra. "Bagaimana kalau ada yang ...."
"Pantai ini bukan Sanur atau Kuta, sayang." Jawabnya sambil meleletkan lidah pada bibirnya yang merah alami. "Aku jamin kita akan sangat aman. Ayo, kita bergegas. Mobilku ada di ujung sana."
Aku mendesah dan memutuskan untuk menurut.
Rumah yang dimaksud jaraknya tidak jauh. Hanya sekitar satu kilometer di atas bukit. Setelah sampai, wanita itu mengajakku ke sebuah gudang. Di dalamnya terikat seorang gadis remaja dalam kondisi tidak sadarkan diri.
"Bagaimana menurutmu?" Wanita itu tidak bisa menahan senyumnya. "Berkualitas, iyakan."
Aku tidak bisa menahan diriku lagi.
"Dia terlihat lezat."