Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Joni bermuka cerah. Banyak orang datang ke pameran tunggal miliknya. Beberapa karyanya sudah dipesan oleh kolektor berusia muda. Tiba-tiba Siska memanggil Joni untuk menemui orang tuanya. Mereka sempat bertukar nomor telepon. Joni mengucapkan banyak terima kasih kepada mereka. Orang tua Siska pamit pergi karena banyak koleganya ingin bertatap muka serta bertukar kisah soal kehidupan mereka di benua biru.
Siska mengelus lembut pundak seniman muda itu. Joni menatap wajah Siska dalam-dalam. Mereka bertukar sunyi di tengah keramaian. Lahirlah sepotong senyuman di ujung bibir Joni.
"Terima kasih ya"
Siska tidak merespon ucapan itu. Ia malah mendaratkan sepotong kecupan mesra di pipi Joni. Setelah itu ia berlalu meninggalkan Joni. Lantaran ia harus meladeni beberapa kolektor muda yang tertarik dengan karya Joni.
Joni kembali tersenyum sambil berpipi kemerahan. Kini ia berjalan mengelilingi musium ini. Teringat kisah awal pertemuan dengan Siska. Setelah itu masa-masa perjuangan di mana ia harus menarik semua tabungan. Lalu ia pindah ke sebuah kontrakan kecil untuk melukiskan berkaryanya. Selain itu, Siska seringkali datang berkunjung lalu menemaninya ketika harus melukis hingga larut malam. Tibalah momen mengingat waktu ia merampung kedua puluh lukisan miliknya yang berukuran kecil, sedang, besar, dan amat besar yang sekarang sedang dinikmati khalayak ramai. Ia merasa bersyukur dan bahagia bukan main.
Joni berhenti melangkah saat dua seniman besar berdiri di depan karya lukisan abstraknya. Mereka bertukar topik bahasan dengan wajah amat mengkerut. Menurut Joni hal ini, pertanda bagus. Mereka sedang mengamati karyanya dan memberikan penilian fair. Akhirnya ia berinisiatif menyapa dua seniman besar itu. Mereka sempat melirik sebentar lalu lanjut bertukar topik. Joni merasa ada yang aneh dengan sikap dua seniman besar itu. Ia tergerak memperkenalkan diri kepada mereka.
"Perkenalan mas barjo dan mas sastro, saya Joni, seorang pelukis muda yang membuat karya ini."
Dua seniman besar itu melirik tajam. Lalu Mas Barjo melipat tangannya sambil bersiap-siap mengelontorkan beberapa kalimat tajam buat Joni.
"Boleh saya tanya satu hal?"
Joni mengangguk mempersilahkan.
"Kamu pakai jampi-jampi apa yah? Kok bisa-bisanya pameran kami digeser, hanya karena sang kurator muda ingin menampilkan karyamu ini?"
Joni mengangkat bahu. "Maksud ucapan Mas Barjo apa ya. Saya sungguh tidak mengerti, mas!"
Mas Barjo tersenyum licik. "Kamu tidak perlu pura-pura polos. Kamu kasih apa si sama kurator muda musium stratajiwa ini."
Joni melangkah mundur. Ia lalu mencari sosok kurator muda yang dimaksud. Sosok itu hilang lenyap ditelan bumi. Joni panik sejadi-jadinya.
"Begini saja ya, anak muda. Aku mau kasih tahu beberapa hal sama kamu. Melukis abstrak itu harus tahu pondasinya. Lukisan abstrak ini tidak lebih dari goretan kuas tanpa jiwa. Lagipula seorang pelukis abstrak harus bisa mengetahui dasar warna dan tehnik melukis lainnya. Bukan serta merta sibuk meramu warna dengan referensi dari sosial media."
Joni menghela nafas panjang. "Tunggu dulu Mas Barjo, saya bisa menceritakan kisah dibalik lukisan abstak ini?"
Mas Sastro memberi kode kepada Joni agar tidak usah melanjutkan kata-katanya.
"Bagi kami sudah jelas kok. Kamu itu masih di level seniman muda yang mencari karakter yang nyaman. Jadi nikmati saja prosesmu dengan bantuan kurator muda itu. Karena bagi kami, karyamu tidak memiliki jiwa, kisah, dan kejujuran."