Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kisah ini bermula kala aku melihatnya.
Senja yang merah, sepulang sekolah, aku melihat seorang gadis yang membuat duniaku jadi penuh warna. Rambut kemerahan terpotong pendek. Wajah cantik alami tanpa make-up. Matanya yang bulat menatapku dengan ramah.
Namanya Amanda. Usianya empat belas tahun. Ia dan keluarganya baru saja pindah ke seberang jalan. Di jalan ini, aku satu-satunya yang sebaya dengannya. Maka tidak heran, kami cepat jadi akrab. Tidak lama kemudian kami bersahabat.
Sayang sekali, kami tidak satu sekolah. Orang tua Amanda lebih memilih untuk menyekolahkannya ke sekolah swasta unggulan khusus perempuan. Semua itu demi rencana masa depan yang telah mereka siapkan untuk putri mereka satu-satunya.
Jam sekolahnya sangat padat. Tidak jarang, Amanda baru sampai rumah pada pukul delapan malam. Namun hal itu tidak menghalangi persahabatan di antara kami berdua.
Saling mengirim pesan melalui aplikasi, telah menjadi kebiasaan kami sebelum tidur. Kami menjadi sangat dekat. Tanpa bisa ditahan, perasaan dalam dadaku ini berubah perlahan jadi cinta.
Ingin rasanya aku mengatakannya. Ingin rasanya aku meluapkan jeritan batin ini. Namun, aku belum menemukan keberanian.
Tahun demi tahun berlalu. Masa SMA hampir usai. Kami pun mulai belajar giat untuk masuk ke Perguruan Tinggi unggulan. Tentu saja aku belum melupakan perasaanku. Aku malah membulatkan tekad, untuk mengungkapkannya kala aku diterima masuk ke Universitas Negeri idamanku.
Hari yang ditunggu pun tiba. Sesuai harapan, aku diterima. Kebahagiaanku akan semakin lengkap, kala aku mengungkapkan hati ini dan berhasil menjadikan Amanda sebagai pacar pertama, dan jika memungkinkan pacar terakhirku.
Senyumku merekah saat aku melihat Amanda di teras rumahnya. Ia tengah membaca buku yang merupakan hobbynya.
Aku menyapa.
Amanda mengalihkan pandangannya dari buku. Menatapku sambil tersenyum ramah.
"Sore, Heru." Amanda bangkit dari duduknya saat menerima ajakanku untuk jalan-jalan sebentar. "Kau terlihat riang sekali?"
"Benarkah begitu?" Aku tak bisa menyembunyikan senyum lagi. "Aku baru saja dapat pengumuman. Aku berhasil, Manda. Aku sudah diterima!"
"Selamat, ya." Sambutnya tulus. "Kau sangat pintar, Heru. Aku yakin sejak awal kalau kau pasti diterima."
Seketika itu juga, aku melihat sesuatu yang beda pada sorot mata Amanda.
"Ada apa?" Tanyaku cemas. "Kenapa kau terlihat murung."
"Kau bisa tahu, ya?" Amanda mendesah. "Sudah begitu lama kita berteman, tentu saja aku tidak bisa menyembunyikannya darimu."
"Apa yang terjadi? Ayo katakan."
"Aku memiliki cita-cita dan impianku sendiri, Heru." Jawabnya sendu. "Selama ini aku belajar giat, agar bisa kuliah di Wina. Aku sama sekali tidak menyangka, kalau aku berhasil. Awalnya aku begitu gembira. Aku gembira karena telah selangkah lebih dekat untuk menggapai cita-citaku sebagai komposer. Tapi kemudian aku sadar, hal ini berarti aku terpaksa berpisah darimu, Heru. Aku tidak tahu harus bagaimana sekarang?"
Amanda menundukkan kepala sebelum melanjutkan ucapannya.
"M-menurutmu bagaimana?" Tanyanya lirih.
Aku terdiam. Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Aku ingin yang terbaik bagi Amanda. Aku ingin ia bisa meraih cita-cita. Hal ini karena aku mencintainya.
Maka aku memegang tangannya dan berkata dengan nada riang yang akrab di telinganya.
"Selamat, ya."