Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Suatu pagi dalam pelayaran menuju Pulau Karimunjawa.
Suasana kapal cukup sepi meskipun libur akhir tahun belum usai. Aku yang kelelahan setelah merayakan malam pergantian tahun langsung duduk di ruang tengah penumpang. Karena sangat lelah, aku bisa tertidur nyenyak selama beberapa saat. Sialnya, di tengah-tengah perjalanan, ombak laut mulai mengganas, sehingga menyebabkan kapal jadi bergoyang-goyang tak beraturan.
Saat aku terbangun, di sebelah kiriku, ada seorang gadis berkerudung yang menyandarkan kepalanya di pundaknya sendiri. Parasnya mirip Laudya Cintya Bella. Tipeku banget. Lalu, saat mata kami tak sengaja saling beradu pandang, hatiku seakan mau melompat ke laut. Sepertinya aku terjerat syndrom benih-benih fall in love at first sight.
"Bisa tidur?" Sambil mengatur irama detak jantungku yang tak beraturan, aku melontarkan senyum bersahabat kepada gadis itu.
"Bisa," katanya, kalem.
"Dari mana asalnya, Mbak?" Aku bertanya sambil menatap matanya yang jernih.
"Bekasi."
"Lho, bukannya Bekasi lagi banjir, ya? Itu breaking news," kataku sambil menunjuk TV di ruang tengah penumpang.
"Nggak, sih. Lingkunganku aman."
Sejak awal gadis ini memang sudah berbakat menjadi narasumber.
Kendati demikian, percakapan basa-basi terus berlanjut. Aku jadi wartawan, gadis itu jadi narasumber. Sampai kapal tiba di Pelabuhan Karimunjawa, kami belum berkenalan secara resmi.
Kemudian, aku berusaha menenangkan gejolak di hatiku, 'Kalau memang jodoh, nanti pasti ketemu lagi.'
Benar saja, kejadian selanjutnya bagaikan di dalam FTV.
Malam berikutnya, aku makan ikan bakar di alun-alun Karimunjawa. Selesai makan, ketika hendak membayar, aku melihat gadis jelmaan Laudya Cintya Bella itu sedang berjalan dari arah utara menuju ke arahku.
Ketika ia melewatiku, aku langsung menyapanya dengan sigap. "Eh, Mbak yang ketemu kemarin."
"Ketemu di mana, ya?" tanyanya, defensif.
"Ketemu di kapal. Mbak yang dari Bekasi, kan?"
Untungnya aku masih inget asalnya. Coba kalau tidak, aku pasti mati berdiri, karena banyak wisatawan yang sedang menikmati kuliner malam di sepanjang trotoar alun-alun juga memperhatikan gerak-gerikku, seolah mereka penasaran langkah apa yang akan kulakukan selanjutnya.
"Iya." Mata gadis itu lebih bercahaya daripada sorot lampu jalan raya, mengalahkan temaram bulan, bahkan lebih menarik dibandingkan kerlap-kerlip bintang di angkasa.
Karena terbuai dengan sorot matanya yang tajam bak mata Elang itu, hatiku pun meleleh. Leleh, kemudian mencair, dan membasahi celana dalamku.
Tiba-tiba hening. Momen awkward. Orang-orang di sekitar masih memperhatikan kami.
Duh, aku grogi. Sangat tidak keren jika aku mati kutu di hadapannya. Logikanya, aku yang sudah berpengalaman PDKT dengan cewek Eropa dan Amerika seharusnya bisa mengatasi rasa gugup ini.
Akhirnya, aku membuka mulut untuk memecah keheningan, "Jadi pulang hari minggu?"
"Nggak jadi, sih. Besok."
"Lho, kenapa? Kecewa, ya, sama Karimun?"
"Nggak kok, pengen ganti destinasi liburan aja."
"Oh iya, kita belum kenalan." Aku mendekatinya sambil mengulurkan tangan.
"Riska." Tangan Riska yang halus menjabat tanganku, kehangatannya mengalir hingga relung hatiku.
"Riska punya IG?" Aku langsung to the point aja.
"Oh iya, boleh."
Dalam waktu singkat, kami bertukar akun Instagram.
"Kalau begitu, sampai bertemu lagi, Riska." Aku melambaikan tangan dan memamerkan senyum termanisku.
"Iya."
Malam itu adalah malam yang sangat istimewa bagiku. Hatiku yang berbunga-bunga sudah digenggam olehnya, tanpa tahu sedikit pun bahwa Riska sebenarnya adalah seorang mahasiswi yang sudah memiliki pacar.
Lagi pula kata-katanya udah limit 😣