Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Anak laki-laki itu lahir di bulan Februari. Mempunyai wajah yang imut dan lesung pipi di kedua sisi. Ia bernama Bimantara.
Sayang, ia terlahir di lingkungan yang tidak bisa menerimanya. Ia dipindahkan ke sebuah daerah yang jauh dari perkotaan, hanya bersama dengan ibunya.
Tak biasanya, sepulang ia bermain di ladang, wajahnya terlihat lebih ceria. Ia berlari kesana kemari, tertawa sambil benyanyi.
"Ceritamu hari ini seperti apa?" Tanya Ibunya yang meminta Bimantara bercerita tentang hari ini sebelum tidur.
"Aku punya teman, dia selalu datang diwaktu siang. Aku senang dengannya, sekarang aku tidak kesepian lagi." Ceritanya.
"Wah, siapa namanya?" Tanya Ibunya.
"Dia tak bisa bicara bu, dia hanya bisa bermain saja mengikutiku." Jawabnya membuat ibunya berfikir, "Mungkin temannya Bimantara mau menerimanya karena mereka sama-sama tak punya teman. Meskipun temannya Bimantara tak bisa berbicara, tak apa. Asalkan Bimantara bahagia."
"Ibu boleh bertemu dengannya? Besok boleh Bima ajak dia ke rumah, sekalian kita makan siang bersama." Pinta ibunya.
"Gak bisa, dia hanya datang di ladang saja ibu. Dia tak bisa masuk ke rumah. Dia mungkin malu." Jawabnya polos.
"Kalai begitu, ibu boleh ikut denganmu ke ladang?" Tanya Ibunya.
"Boleh Bu." Ucapnya sambil tersenyum manis.
"Sekarang kau tidur ya. Sudah malam!" Ibunya memeluk Bimantara sambil menyanyikan lagu tidur dengan merdu.
Bimantara sudah tertidur dengan lelap dalam pelukan Ibunya, namun Ibunya masih terjaga.
Aktivitas yang membuat lelah menghilang adalah menatap wajah anak yang tengah tertidur lelap. Ibunya selalu melakukan itu setiap malam meski hanya lima menit saja.
Kali ini, hatinya sedikit lega, fikirannya sedikit ringan. Bimantara tertidur lelap dengan mimpi indah, bibirnya tiba-tiba merekah, lesung pipinya semakin terlihat jelas. Bimantara tengah berbahagia.
Setelah puas memandang wajah sang anak, Ibunya ikut menyusul untuk tidur.
Keesokan harinya, Bimantara bangun terlebih dahulu. Ia menyiapkan sarapan untuk ibunya walau hanya dua helai roti tawar dengan selai coklat dan keju parut yang berantakan. Tak lupa teh manis tanpa air hangat ia berikan.
"Wah, anak ibu lagi apa?" Ibunya menghampiri Bimantata ke dapur dan melihat keadaan meja makan yang cukup kotor dan berantakan.
"Sarapan untuk Ibu, mmmm yummy." Ia menjilat jarinya yang penuh selai coklat.
"Makasih sayangnya Ibu. Siang ini ibu boleh ikut main?" Ibunya memakan roti yang disiapkan
"Boleh bu." ucap anaknya.
Siang ini, mereka berangkat bersama ke ladang, tak lupa membawa beberapa camilan yang sudah disiapkan.
"Temanmu kapan datang nak?" Tanya Ibunya yang tak melihat seorangpun disana. Ibunya duduk menunggu di bawah pohon rindang di tepi ladang.
"Ibu ikut denganku kesana!" Bimantara menunjuk ke arah tengah ladang dan mengajak ibunya kesana.
"Ini temanku, dia tak bisa bicara, dia hanya bisa mengikutiku. Dia baik bu, hanya tidak bisa aku sentuh. Dia akan pergi ketika matahari sudah tak ada di langit." Polosnya menunjuk pada bayangannya sendiri.
Ibunya menahan tangis dan memaksa diri untuk tersenyum.
"Sini nak!" Ibunya menghampiri Bimantara dan memeluknya.
"Itu bayanganmu sayang, itu bukan temanmu." Ucapnya lirih.
"Ibu kenapa menangis? Aku tahu dia muncul karena aku ada. Tapi aku bahagia dengannya. Jadi, aku menganggapnya sebagai temanku." Pungkasnya lalu dipeluk erat ibunya lagi