Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tiga tahun yang lalu, ketika pertama kali melangkah masuk ke bangunan megah ini, aku menyukai dia—pria berwajah datar, tanpa senyum sama sekali. Kabarnya, begitu banyak gadis yang mendambanya, tapi tak satu pun yang bisa menaklukan hati sekeras batunya. Ketika pertama kalinya kita saling bicara, saat itu pula aku berkeras untuk menaklukan hatinya—menjadi satu-satunya gadis yang bisa meluluhkan hatinya.
“Sekarang kamu bahagia?” Tanya pria yang berdiri tepat di sampingku—Raymond.
“Bahagia dong, memangnya ada alasan mengapa aku tidak bahagia?” Tanyaku membalas ucapannya.
Dia diam saja, aku melihatnya sambil tersenyum. Dia benar, seharusnya memang saat ini aku merasa sedih, hancur, dan agak sedikit depresi. Terlalu berlebihan memang, tapi itu lah sikap yang harusnya kutunjukkan. Bukannya malah tersenyum seraya berjalan menuju pelaminan—menyalaminya dengan senyum bahagia. Apakah aku memang sudah gila?
Raymond menepuk bahuku, mengajakku menjauh dari pelaminan dan melanjutkan langkah yang sempat terhenti menuju stan makanan. Kuraih alat makan yang disodorkan panitia, lalu melangkah maju untuk mengambil makanan demi makanan. Raymond melakukan hal yang sama denganku—bedanya, dia jauh lebih bersemangat dariku.
“Ta, kalau kamu sudah mengambil keputusan untuk melupakannya, maka kamu tidak boleh menyesalinya. Kamu tetap harus menjalankan apa yang sudah menjadi keputusanmu.” katanya sebelum kita benar-benar sampai di tempat duduk yang sudah disediakan.
Sekali lagi, kulirik pelaminan dengan senyuman paling terbaik yang kumiliki. Kedua pasang itu tampak sangat bahagia—tersenyum ke arah tamu. Benar-benar pasangan yang sungguh serasi. Bibir ini kembali tersenyum ketika mengingat keputusan terbaik yang telah kuambil.
“Mereka tampak sangat bahagia,” kataku seraya tersenyum.
Benar, mereka pasangan yang sangat serasi. Sudah tidak ada tempat lahi bagiku untuk bisa berada di dekatnya, karena sudah ada pasangan sehidup sematinya yang sampai kapan pun tidak akan meninggalkannya. Kalau begitu, sudah saatnya aku melepasnya pergi.
“Yuk foto bersama pengantin! Aku ingin posting di media sosial,” ajakku pada Raymond.
“Yakin?” Tanyanya dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Yakin dong! Benar katamu, aku tidak akan menyesali keputusan yang telah kuambil. Lagi pula, mereka terlihat sangat bahagia dan saling melengkapi satu sama lain.” jelasku seraya tersenyum.
Kutarik pergelangan tangan Raymond menuju pelaminan, yang jelas saja membuat semua orang menatap kepada kami. Tapi aku percaya diri saja dan tetap mengajaknya melangkah. Aku melempar senyum lebih dulu kepada sepasang pengantin ini, dan langsung saja aku meminta ijin untuk foto bersama.
Satu jepret, dua jepret. Dan senyum paling bahagia pun tercipta juga. Kuperhatikan sekali lagi potret kebersamaan kami—sangat bagus dan begitu terkenang. Sebelum benar-benar pergi, kubisikan pada sepasang pengantin, “Semoga bahagia,”