Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hujan masih lumayan deras di luar. Namun sudah tak sederas tadi. Es kopi yang kupesan sudah habis sejak 15 menit yang lalu. Sementara tiramisu di samping laptopku masih separuh. Aku melirik ponselku, belum ada chat dari Jay.
Aku beranjak berdiri, memutuskan untuk memesan segelas kopi lagi. Kali ini hot cappucino. Aku rasa hujan turun masih cukup lama. Meminum kopi hangat akan menyenangkan. Sang barista menggambar hati di atas kopiku.
Ketika aku kembali ke mejaku, layar ponselku menyala. Satu pesan masuk dari Jay.
“Aku sudah dekat, sebentar lagi sampai.”
Hujan di luar masih belum reda. Apa Jay membawa payung?
Tidak lama aku melihat Jay sedikit berlari menuju kemari. Ia memakai payung biru yang sepertinya baru. Sepatu kets putihnya menginjak beberapa genangan air, menimbulkan cipratan yang mengotori ujung celananya. Aku yakin dia kesal karena salah memilih warna sepatu. Ia tak menyangka akan turun hujan hari ini.
“Selamat sore.” Sang barista langsung menyambut Jay ketika pria itu membuka pintu kafe.
Jay membalas dengan senyuman dan sedikit menunduk. Ia menaruh payungnya yang sudah terlipat pada tempat yang sudah disediakan, di samping pintu. Ia langsung berjalan menghampiriku. Menyunggingkan senyumnya yang manis. Namun senyum itu terasa berbeda. Matanya yang kecil tidak menyipit. Aku merasa jantungku berhenti sepersekian detik ketika melihat senyum itu.
Jay langsung duduk di kursi seberangku.
“Kau tidak memesan?” aku menyunggingkan senyum padanya. Sedikit takut.
“Tidak.” Jay masih tersenyum. Jay memang lebih banyak tersenyum. Saat marah pun ia tersenyum.
Tidak? Ia tidak akan memesan.
Kutempelkan punggung tanganku pada gelas kopi, mencari kehangatan untuk menenangkanku.
“Aku harus mengatakan ini.”
Aku tidak menyela. Kutatap mata kecilnya yang indah.
“Aku rasa.....” Jay menggigit bibir bawahnya. Aku tahu apa yang akan ia ucapkan tidaklah mudah. Sepertinya aku bisa menebak apa yang akan ia sampaikan.
“Aku rasa hubungan kita tidak bisa dilanjutkan.” Mata kecilnya bergetar. “Aku tahu hubungan kita begitu manis. Aku tahu selama ini kau mendampingi dan merawatku dengan baik. Kau adalah satu-satunya orang yang mengulurkan tangan ketika ibuku meninggal 3 tahun yang lalu. Saat itu aku sangat ketakutan karena harus menjalani hidup seorang diri, padahal aku masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Ibuku adalah satu-satunya orang yang kumiliki, ia membesarkanku seorang diri. Ketika ia pergi, aku sangat hancur. Lalu kau datang, menerimaku apa adanya. Mencintaiku dengan tulus. Kau memenuhi tempat yang kosong di hatiku. Aku sangat berterima kasih.”
Setetes air mata jatuh di pipiku. Aku tidak berusaha menyekanya. Hal yang sama juga terjadi pada Jay.
“Kau pernah berkata padaku jika kau tidak ingin mengikatku bukan? Aku juga tidak ingin mengikatmu.” Suara Jay parau. “Aku rasa semua sudah menjadi dingin sekarang. Aku tidak tahu apa yang salah. Mungkin hanya karena kita mulai beranjak dewasa. Kita berjalan kearah yang berbeda. Semoga kau bahagia. Aku mencintaimu.”
Aku mengangguk.
Setelah Jay beranjak pergi, air mataku mengalir deras. Aku tak bisa menahannya. Aku melihat Jay basah di luar, berjalan gontai menuju halte bus. Ia meninggalkan payungnya untukku.
Kutempelkan punggung tanganku pada gelas kopi. Sudah dingin. Bahkan gambar hatinya masih sempurna. Aku menyesap kopi yang sudah dingin itu disela tangis.
###