Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Seorang Opsir mengarahkanku duduk sebelum membuka borgolku. Kemudian ia keluar ruangan, memberikan sedikit privasi pada kami berdua. Namun dalam beberapa detik, hanya ada keheningan, meski pintu telah lama tertutup.
“Jadi, apa dakwaanmu?” wanita di depanku itu membuka pembicaraan.
“Percobaan pembunuhan,” jawabku.
“Orang itu dirawat intensif. Tengkorak, tangan dan kaki kanannya patah.”
“Aku tahu.”
Tatapannya menajam mendengar jawaban tanpa irama itu. “Astaga, Lexa! Kenapa kau tidak pernah menceritakan ini pada kami? Kau menyimpan semua ini sendirian! Kau yang selalu mendengarkan kami, justru menanggung bebanmu seorang diri. Setidaknya ceritakan masalah ini agar kau tidak terlalu tertekan!”
Kuhela napas beratku. “Aku tidak bisa menceritakannya pada kalian, Vilma.”
“Kau tidak percaya pada kami? Mungkin kau tidak bisa cerita padaku, tapi ada teman lain yang mungkin dapat mendengarkanmu! Sama seperti kau yang selalu mendengarkan kami selama ini!”
“Justru karena itu,” ujarku. “Ini bukan masalah kepercayaan. Aku hanya tidak ingin membebani kalian dengan masalahku. Aku mendengarkan kalian dan tidak ingin menambah pikiran kalian lagi.”
“Kenapa malah memikirkan kami?”
“Karena aku ingin menjadi sandaran kalian.”
Vilma hanya memandangku polos, meminta penjelasan lebih.
“Setiap orang memerlukan sandaran untuk istirahat dari beban mereka. Dan kalian mempercayakan hal itu padaku,” aku tersenyum tipis. “Sebuah sandaran seharusnya kokoh agar dapat melindungi punggung kalian. Maka dari itu, aku tidak ingin menampakkan masalahku ini. Aku ingin terlihat kokoh agar kalian mempercayaiku.”
“Lexa.”
“Jika aku lemah, maka aku tidak pantas menjadi tempat nyaman itu, kan? Aku tidak bisa membiarkan kalian kehilangan sandaran. Aku tidak ingin kehilangan kalian. Kalian sangat berharga bagiku.”
“Bukan berarti kami tidak ingin menjadi sandaranmu juga. Kita harus saling menguatkan, kan?” Vilma menghela napas, mendengar semua kalimatku. “Yeah, sebenarnya kami tahu kau sanggup membunuh orang. Justru kami terkejut saat mendengar orang itu masih hidup. Kami tahu kau menahan sekuat tenaga agar tidak membunuhnya.”
Tidak ada jawaban dariku, lebih terkesan menyetujuinya.
“Lagipula, dia seorang kriminal buronan. Perampokan, pencurian, premanisme, pengedar narkoba, pelaku terorisme terbunuhnya abangmu, daftar itu sudah cukup membuatnya mendapat hukuman mati. Dan kau pasti sangat ingin menghabisinya,” ia memandangku lekat. “Kenapa kau tidak mengakhirinya?”
Lima detik aku hanya memandang tanganku di atas meja. Kuangkat bahuku singkat. “Aku tidak ingin menjadi pembunuh. Karena meski dia pantas diakhiri, meski aku sanggup melakukannya, tapi apakah aku bisa mengalihkan pilihan membunuh setelah semua itu?”
Tidak ada suara dari Vilma, namun tatapannya cukup menunjukkan ia sedang berpikir dalam.
“Menjadi pembunuh bukanlah masalah utamanya. Tapi, apakah kalian akan tetap menerimaku jika aku melakukannya?”
Vilma berdecak kesal. “Itu akan sulit,” ia mengakui. “Lalu, apa rencanamu?”
“Aku akan menunggu sidang. Pengacaraku sudah menyiapkan kasus banding jika diperlukan.”
“Aku yakin kasusmu hanya perlu sidang ringan, mengingat siapa yang menjadi korban sebenarnya,” Vilma mengedikkan bahu santai. “Jika pengacaramu gagal, segera pecat dia. Biar aku cari gantinya dan membebaskanmu.”
“Kau yakin dengan itu?”
“Huh! Tentu saja. Kau tahu koneksiku banyak, kan?”
“Tentu,” jawabku tersenyum.
“Waktu berkunjung sudah habis,” kata Opsir yang mengantarku tadi seraya membuka pintu.
Kami mengangguk paham, menerima pemberitahuannya.
“Jaga dirimu. Kita akan selesaikan segera. Kau percaya padaku, kan?” pesan Vilma.
Aku mengangguk, sebelum keluar dan kembali ke selku.