Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pagi-pagi buta sekali, kuputuskan untuk meninggalkan rumah. Sejak kejadian semalam, ayahku menelpon seseorang, didengarkan langsung oleh ibu yang menguping menempelkan telinga di samping ponsel yang ayah genggam erat dengan telinganya.
“Alhamdulillah, jadi ke sini besok pukul 10 pagi ya, Mak?” tanya ayah dengan wajah tampak lega.
Ibu yang mendengar perkataan ayah langsung berdiri dan nampak khawatir.
“Jika nanti Remon tidak setuju keputusan kita gimana yah?” tanya ibu menghadap wajah Ayah setengah berbisik.
“Sudah tenang saja, Bu. Kupastikan ini berjalan sukses dan dia tidak akan kabur kemana-mana lagi”. Jelas ayah sangat optimis.
“yasudah, Mak. Kami tunggu ya, Mak. Jangan lupa bawa pak Ustad, kita adakan acara kecil-kecilan saja, Mak. Assalamualaikum” Jelas Ayah tampak senyum tipis mulai mengembang di bibir Ayah.
Mereka tidak tahu, jika sedari tadi Aku mengintip dan menguping pembicaraan mereka. Bagaimana bisa aku yang masih berusia dua belas tahun akan diberi tanggung jawab yang besar juga dipaksa dewasa sebelum waktunya. Mana bisa Aku menerimanya.
Kulangkahkan kaki dengan mengendap-endap keluar dari kamar, membawa dua pasang baju, juga uang jajan yang diberikan ibu dua hari ini, lima ribu rupiah. Akan kupastikan mereka akan menyesal melakukan ini semua padaku, anak sematawayangnya. Nanti aku akan hidup sebatang kara sebagai anak yang bekerja keras untuk kehidupannya.
Begitu Aku membuka kunci yang telah tergantung di pintu, “kreeeeek” berhasil. Ku tekan gagangnya, sial! Ternyata ibu menguncinya lebih dari satu. “kreeeek” berhasil lagi!. Ku tekan lagi gagangnya, berhasil. Pintu terbuka. Angin subuh menyeruak menghembus wajahku, “bbbrrrrrrr” dingin sekali.
Ku cepatkan langkah kakiku, menggunakan sendal seadanya. Berlari menghindari pot bunga Ibu yang tersusun rapi di halaman.
“kreeeeeeeessss”
Sial!! Ada seseorang tidak jauh di depanku. Tubuhnya besar, tercium bau jamu-jamuan seperti saat Mbok Tun datang memijit dan menyuapi ibu Jamu. Wajahnya tidak begitu jelas, karena matahari belum terbit, lampu halaman juga sudah dimatikan ibu.
“Mau ke mana Kau?” suaranya berat menegurku.
Ia berhasil menggenggam tanganku, tangannya kasar, cekramannya kuat, didekapnya tubuhku. Amat teramat kuat sehingga aku hanya mampu berteriak.
“Ayah, ibu tolong Akuuuuu!!!” teriakku lantang, membuat ayah dan ibu berlarian keluar dan berteriak, “Ramoooooon!!!!”
“Tolong, Ayah, Ibu!!!! Aku mau diculik hantu!!!”
“Astagfirullahal’aziiiiim!!!”
Ayah dan Ibu yang melihat kejadian itu berlari dan mengambil alih cengkraman makhluk besar itu.
“Sekarang saja, Mak!” teriak Ayah pada makhluk besar tersebut.
“bawa ke kamar!” mereka berlarian menggendongku. Sesampainya di kamar ayah dan ibu menahan tangan dan kakiku, makhluk besar itu melepas celanaku,
“kreeessssss!!!!, alhamdulillah, selesai.” Suara makhluk besar itu lega.
“Mbok kok yo disunat aja kabur terus toh le” ucap Ibu berkacak pinggang.
“Aku sudah tau, kalau anak ini banyak siasat. Makanya Aku datang pagi-pagi biar dia gak bisa lari lagi, lima kali mau disunat lari, nanti jadi alot!” suara besar itu bergemuruh di rumah.
“Mereka memaksaku jadi dewasa, dengan memotong sebagian milikku” batinku sembari menahan kesakitan di balik sarung yang telah digantung ibu pada atap kamarku.
“hahahaha” mereka tertawa lepas, sedangkan Aku harus menerima keterpaksaan ini.