Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku pergi saat senja belum turun, dan kembali ke indekost saat matahari belum naik. Kau tahu, apa pekerjaanku?. Tidak, tidak seburuk pikiran itu. Pekerjaanku jauh lebih terhormat, meski aku baru berusia 20 tahun dan putus sekolah saat kelas XI SMK.
Pakaian ketat, softlens, make up kontras dan rambut panjang dengan cat ombre yang tergerai memang sering membuat orang-orang mencibir saat aku melewati gang. Mereka tidak berkata kasar, tapi kutahu. Terkaan buruk itu terpancar dari tatapan mereka yang saling mendelik.
"Baru pulang cah ayu?" Perempuan paruh baya bertubuh gempal menegurku dari kedai nasi uduk. Bu Surti, hanya dia yang ramah di gang ini.
Aku tersenyum, tak banyak meladeni. Mataku sudah panas, ngantuk dan ingin tidur. Dari kejauhan, kudengar Bu Surti menyela komentar pelanggannya. "Heh, kamu itu kok yo ngawur! Itu, mbake kerja di pasar malem. Joki di tong setan, kalau nggak percaya nanti malem lihato sendiri, dateng ke pasar malem. Ngeres!"
Aku terkekeh, memegang handle pintu kamar. Menoleh dan tersenyum, Bu Surti dan pelanggannya mengangguk ke arahku. "Selamat datang di surga." Aku melompat—rebah di kasur busa tanpa sprei, tubuhku terasa nyeri, lebam di pipi tangan juga betis karna insiden di pasar malam tadi.
Aku harus memacu sepeda motor 2 tak, dengan seimbang di kemiringan 90-180 derajat. Agar penonton yang notabene laki-laki senang, dan memberi uang sawer yang besar. Koplingku terlepas di ketinggian 2 meter dari dasar tong, telapak tanganku licin.
Hidup berpindah-pindah dari satu pasar malam ke pasar malam lain menjadi siklus hidupku, sekarang. Tak jarang, lepas atraksi banyak laki-laki yang datang meminta nomor whatssapku. Syukurlah, Bang Dito selalu menghalau mereka, melindungiku juga identitasku terlebih prestasiku sebagai joki tong setan perempuan sedang melejit. Dua bulan lagi, aku berangkat ke Thailand untuk sebuah acara besar.
"Ya ampun," aku terkejut dari buaian kasur. Mataku lengket, gatal dan perih. Aku tersungkur, meraba ubin kamar. Mencari tas kulit merah bata yang tadi ku bawa. Aku meraih botol kecil berisi cairan pembersih, lekas membuka tutup dan menuang ke telapak tangan.
Masih dengan mata yang lengket, sulit dibuka. Aku panik, meraba kotak berbentuk hello kitty, cepat-cepat ku teteskan air softlens hingga kedua mataku yang gatal terasa dingin. Hal yang paling mengerikan bagiku, memasang dan membuka softlens.
Seandainya, mereka tau. Aku hidup berkelana dan akrab dengan nuansa malam. Gemerlap lampu pijar, dan musik yang disetel kencang seperti hajatan. Habis aku dicaci, mungkin aku dipaksa kembali ke kampung. Langsung disuruh nikah atau mengurus ladang peninggalan nenek di wetan kali.
Semoga emak, dan bapak di kampung selalu sehat dan adik bontotku bisa tamat SD, sampai SMK. Maaf mak, aku tidak bekerja sebagai ART, seperti yang selalu kuceritakan. Aku ingin mengejar mimpi baruku, sekalipun sekolahku putus. Semoga Allah, mengampuni dosaku padamu, Mak.