Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku menghela nafas pelan, setelah menyelesaikan tugas kuliahku. Lelah tentunya, karena aku mengerjakannya dari jam 08.00 a.m hingga 10.10 a.m.
Untuk menghilangka letihku, aku membuka HandPhone sembari bersandar dengan santai di kursi. Saat ini aku tengah berada di perpustakaan.
Baru saja aku membuka sosial mediaku, sebuah panggilan mengalihkan atensiku.
"Dyra!"
Aku langsung menoleh ke arah suara. Di sana seorang lelaki tengah berjalan menghampiriku, dia Ander.
"Iya," jawabku.
"Aku mau ngomong sesuatu," ucapnya dengan lantang, lalu duduk di sebelahku.
Aku mengangguk sembari menatapnya.
"Dyr .... Aku jatuh cinta sama kamu, dan udah hampir 2 bulan sejak aku kenal kamu. Kita juga udah cukup dekat. Aku mau serius sama kamu," jelasnya. Ia diam sejenak. Tidak ada keraguan dalam setiap ucapannya. "Mau nggak kamu jadi pacar aku?"
Dyra tersenyum kecut. "Maaf Ander, bukan aku nggak suka sama kamu. Tapi aku belum siap jalin hubungan dengan seseorang saat ini," jawab Dyra.
"Aku bakal ngebahagiain kamu. Nggak akan nyakitin kamu," ucap Ander. Dia memang lelaki baik yang dekat denganku beberapa bulan ini.
"Bukan masalah ngebahagiain dan nyakitin. Tapi untuk ngejalanin hubungan yang baru aku emang belum siap."
Ander menghela nafas pelan. "Jangan ilfeel sama aku karena ini Dyr, aku cuma nyatain perasaan yang selama ini aku pendam. Aku akan nunggu sampai kamu siap. Aku permisi," ujar Ander lalu pergi.
Dyra tersenyum.
Ander adalah lelaki ke-5 yang mengajak Dyra untuk berpacaran sejak ia putus dari Raka, kekasihnya di waktu SMA yang sudah berpacaran selama 4 tahun.
Mungkin aku bisa mengatakan bahwa aku tidak mencintai Raka lagi setelah 3 tahun kami putus. Tapi entah mengapa aku seakan tidak bisa menerima orang baru lagi. Perbedaan agama yang menjadi penyebab berakhirnya hubungan kami.
Setiap lelaki yang mendekati, seakan ada bisikan dan membuatku berucap kala sendiri, "Jika bukan seperti Raka, aku tidak mau."
"Kau bukan Raka, dan tidak sepertinya."
"Aku mau orang seperti Raka."
Seakan-akan Raka masih dalam genggaman dan pelukannya.
Pertanyaan paling menohok pernah aku dapatkan dari seorang teman sekelasku saat ia juga mengajak aku pacaran.
"Kamu nggak mau nerima aku, karena nggak mau pacaran atau masih terjebak dengan orang di masa lalumu?" pertanyaan itu sukses membuatku terdiam.
Kemudian aku menjawab. "Kedua-duanya."
Aku yang tidak ingin pacaran lagi, dan masa lalu yang seakan membayangiku.
Aku selalu merasa, jika aku mejalin hubungan dengan lelaki lain, entah kenapa hatiku tidak akan seutuhnya. Seakan bayang-bayang Raka masih berada di hadapanku.
Ada sebuah bayang dan kenangan yang kupeluk, yang menjadikan diriku tidak siap menerima siapapun. Kenanganku dan Raka memang jarang menghampiriku, ia akan menghampiriku jika seseorang mulai mendekatiku.
Sella, sahabatku. Ia selalu bertanya, "Kapan kamu akan berhenti."
Aku menjawab, "Saat bertemu orang tepat."
"Nggak ada ketepatan dalam hal apapun di dunia yang tidak saling sinkron. Kalau kamu cuma menunggu orang yang tepat, tapi kamu selalu menghindar juga nggak bisa Dyr. Raka aja udah punya pacar," jelas Sella.
"Belum tentu dia bisa ngelupain aku."
"Dengan adanya orang baru dia berusaha ngelupain kamu."
Entah kenapa masa lalu menjebakku, menahanku, dan aku memeluknya.
Ya, aku salah. Tapi aku juga tidak bisa mengendalikan perasaan ini.