Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Rianti sedari tadi bersolek di depan cermin. Disisir berkali-kali rambutnya. Dipasang japit bunga mawar ungu. Kemudian dilepasnya dan diganti dengan japit bunga matahari. Menurutnya, warnanya lebih bagus jika bunga matahari dipadankan dengan bajunya yang berwarna merah delima.
Ibu yang memperhatikan sambil menenenun sarung sutra, tersenyum melihat Rianti yang kini beranjak dewasa. Sembilan belas tahun berlalu, terasa seperti kemarin saja ibu baru melahirkannya dan menimang-nimangnya.
"Bagaimana, Bu?"
"Apa yang menurutmu cantik, akanlah terlihat cantik," jawab ibu sambil meminum teh hangatnya.
"Apakah aku cantik, Bu? Kata Alisa, aku tak secantik dia," ujar Rianti sambil memanyunkan bibirnya.
"Cantik tak cantik, kau tetaplah anak Ibu. Mereka berkata apapun, biarlah. Setidaknya tidak memperburuk hatimu yang lebih cantik jika dibandingkan yang Ibu lihat saat ini."
"Benar kaaan, aku jelek." Rianti bersedih hati dan melepas jepit bunga mataharinya.
Seketika saja ibu menuju pada Rianti lalu memeluknya dan berkata, "Cantik itu bukan soal wajah. Apalagi hal yang terpaksa karena orang lain. Cantik itu di situ," telunjuk ibu menjunjuk ke tempat jantung hati Rianti. "Setidaknya dia yang di situ tidak berubah menjadi jelek."
"Secara otomatis, jika wajahku atau penampilanku menjadi cantik ..., dia yang di sini juga akan menjadi cantik, kan Bu? Ya, logikanya begitu." Rianti yang bersidekap.
"Logika itu tidak seperti yang kau kira. Terkadang logika menyesuaikan dengan apa yang sedang kau butuhkan, kau inginkan, kau cari, kau temukan, dan yang kau tidak inginkan atau tidak kau sukai."
"Bagaimana bisa, Bu?"
Ibu mengelus bahu Rianti berkali-kali dan melebarkan bibirnya, kemudian kembali ke tempat dia menenun sarung sutra.
"Dua atau sepuluh tahun lagi, kau akan mengerti apa yang Ibu maksud."
-Selesai-