Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Cinta Platonic
Hanya tinggal beberapa senti lagi. Tiba-tiba ia menjauhkan bibirnya dariku.
Kudengar napasnya yang terengah, seperti mencoba menahan sesuatu agar tak bergejolak keluar dari dadanya. Dilepaskan cengkramannya dari kerah kemejaku, lalu dengan kecepatan mengagumkan ia kembali bersikap tenang. Seakan tak terjadi apapun sebelumnya.
“Maaf mas, khilaf,” katanya sembari tertawa. Tapi disela tawa yang dipaksakan itu ia berulangkali mengusap bibirnya dengan jemari bergetar.
Bahasa tubuh tak bisa menipu, hah? Desisku dalam hati.
Kuamati tingkahnya lebih lama. Jengah karena keterdiaman kami, Ia mengharap respon dariku, apapun itu.
“Mas ngerti.” Aku mendesah perlahan, akhirnya hanya itu kata yang sanggup kuucapkan setelah sekian lama keheningan berlalu.
Jujur, meski aku sudah mengetahui perasaannya, namun tindakan nekatnya barusan sama sekali tak kuprediksi sebelumnya. Hasilnya, di balik topeng ketenangan, jantungku melompat-lompat tak keruan.
Insting lelaki, kukira. Apalagi kami hanya berdua di balkon kamarnya.
“Mas Sandy ga pulang ke rumah?”
“Kamu ngusir mas?”
Ia langsung terbatuk mendengar ucapanku.
“Bu … bukannya gitu mas, kayaknya bentar lagi hujan, ntar mas kehujanan di jalan.”
“Kalo hujan berarti mas tinggal nginep di sini aja.” Ucapku tak acuh. Kali ini tanpa ekspresi sama sekali.
Aku berani bertaruh ia pasti sedang merapal doa dalam hatinya agar hujan lekas turun.
“A … aku bikinin coklat panas dulu mas.”
Sebelum sempat persetujuanku keluar, ia bergegas melangkah keluar kamar.