Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku sendirian. Ibu pergi mencari makan. Belum pernah aku sendiri begini. Beberapa kali aku mendengar suara mendekat, kemudian hilang. Aku takut… Sungguh takut.
Gemetar badanku kian menjadi manakala pintu besar di depanku berderit terbuka. Anak lelaki bertubuh besar dan berambut keriting melemparkan pandangan ke penjuru ruangan. Aku berusaha menahan nafas agar dia tidak merasakan kehadiranku. Dia memiringkan kepalanya ke arahku, dan berusaha melihat dengan jelas. Aku pasrah kepada Tuhan, dan memangggil Ibu dalam hati.
Rupanya, anak itu hanya mengambil mainan, kemudian berlalu. Huh… Lega rasanya. Aku berjalan kesana-kesini dengan gelisah, takut anak itu datang lagi. Ingin rasanya berlari mencari Ibu, tapi aku tidak tahu beliau kemana.
Tak lama, pintu kembali terbuka. Jantungku serasa mau copot. Seorang anak perempuan, masuk terburu-buru, mencari sesuatu. Dia membolak-balik kardus yang bertumpuk di sudut ruangan, tetapi tidak menemukan yang dia cari.
“Adaaammm… Liat tas kecil gw warna hijau nggak???” teriaknya.
Tidak ada sahutan.
“Adaaammm… Liat tas gw ngga sih??”
Kali ini aku mendengar langkah kaki mendekat. Mungkin yang namanya Adam.
“Berisik banget sih… Tas yang mana Lola???” kata anak laki-laki itu.
Tiba-tiba ekor mataku menangkap warna hijau tak jauh dari tempatku. Jangan-jangan tas hijau yang Lola cari. Jantungku kembali berdetak kencang. Jika Lola mengambil tas hijau itu, dia pasti bisa melihatku. Aku semakin gemetar dan ketakutan sendirian.
Tamatlah riwayatku hari ini. Aku ingat Ibu pernah berkata bahwa keluarga di rumah ini tidak menyukai keluargaku. Pernah beberapa anggota keluarga kami di pukuli oleh mereka menggunakan sapu. Karenanya, Ibu selalu menyuruh kami bersembunyi. Kami tidak diperbolehkan menampakkan diri. Rupanya, hari ini aku yang terkena sial. Tiddaaakkk… Aku belum siap mati!
Ditengah kepanikanku, anak laki-laki yang di panggil Adam muncul.
“Udah ketemu belum???” tanyanya.
“Belum” kata Lola sambil mengedarkan pandangan dan berjalan mendekati tempatku bersembunyi.
“Eh, ini kayaknya“ katanya sambil menjulurkan tangannya ke arah tas di depanku.
Aku gemetar bukan main. Keringat dingin keluar membasahi tubuh, membuat kaki dan tanganku licin. Aku tergelincir dan berteriak kaget. Badanku melayang jatuh berdebam di lantai. Sakit rasanya tulang-tulangku. Aku menggelepar tak berdaya.
Nasib malang rupanya sedang mengarah padaku. Saat aku jatuh, Panji dan Lola berteriak sambil menampakkan raut muka benci padaku. Aku hanya pasrah karena badanku tidak bisa kugerakkan. Mereka berlari cepat sambil berteriak.
Adam mengambil sapu di balik pintu, sedangkan Lola meraih koran. Mereka berdua berlari kembali ke arahku yang diam dan menangis.
Lalu sapu dan koran yang dibawa kedua anak itu menghujaniku bertubi-tubi. Dalam kesakitan, aku melihat Ibu datang di kejauhan. Beliau menatapku dengan berlinangan air mata. Aku memberi isyarat padanya untuk pergi supaya tidak tertangkap oleh anak-anak ini. Ibu bergerak menjauh, pergi. Aku tahu beliau tidak ingin meninggalkanku, tetapi harus melakukannya.
Sepertinya ajal sudah siap menjemputku. Demi melihat aku tak lagi bergerak, kedua anak itu berhenti menyiksaku. Kurasakan badanku melayang saat mereka membopongku. Sebelum kututup mataku untuk selamanya, aku mendengar mereka bercakap.
“Kecoak sialan…bikin jantungan ajah…” sungut Lola.
“Untung kita berdua. Kalau sendirian, pingsan kali gw…” imbuh Adam.
Perlahan badanku melayang semakin tinggi. Aku baru menyadari bahwa jiwa dan ragaku tak lagi bersama. Tugasku di dunia, sudah selesai.