Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kutulis cerita ini di bawah pohon favoritku di sini, sebelumnya, adalah untuk mengenang satu-satunya sahabat terbaik yang kumiliki. Orang-orang biasa memanggilnya Kaina, tapi aku lebih sering memanggilnya Ai, seperti yang kuingat kata seorang guru bahasa Jepang sewaktu SMA, Ai dalam bahasa Jepang berarti Cinta. Maka bersyukurlah aku karena telah jauh lebih dulu memanggilnya begitu sebelum aku tahu artinya. Ya, tepat sekali, aku cinta Kaina.
Bukan.. Bukan.. Aku bukan pria. Ini bukan cerita sahabat jadi cinta atau friendzone seperti yang sempat kalian duga sesaat. Aku seorang perempuan, sama seperti Kaina. Namaku Sinar. Aku sudah punya kekasih, namanya Damar. Aku dan Kaina sudah bersahabat sejak kami pertama kali masuk SD. Lalu, kalau kalian bertanya kenapa aku senang memanggilnya cinta, itu adalah karena Kaina merupakan satu-satunya sahabat yang sudah lamaaaa sekali mengenalku. Kami berhubungan sangat dekat. Bahkan, saking dekatnya, aku sering menumpang makan siang di rumahnya. Aku juga sering menginap, mengerjakan PR, dan bermain di rumahnya.
Hubungan baik antara kami-lah yang membuatku sangat mencintai Kaina. Cinta itu luasss sekali maknanya. Tidak terbatas pada hubungan sepasang kekasih saja. Dan aku rasa, cintaku pada Kaina tidak akan pernah pudar, sampaiii....
"Sin!" Seorang pria memanggil namaku tiba-tiba. Ah, padahal aku belum selesai bercerita. Tunggu sebentar, biar kuselesaikan dulu urusanku dengan pria ini.
"Kenapa Rom? Bikin kaget ajadeh."
Perkenalkan, pria itu Romi, dia juga temanku.
"Hmm.. Itu.." Romi bicara terbata-bata. Pria yang lebih senang bermain game online itu memang sedikit payah dalam komunikasi berdua seperti ini.
"Itu apa?"
"Tolong telponin Damar dong, tanya dia di mana sekarang. Bilang gue mau ngajakkin mabar." Romi kemudian duduk di sampingku sambil mengeluarkan ponselnya.
"Lah itu lo megang HP, kenapa gue yang telpon?"
"Kan gue mau log in." Bela Romi sambil menunjukkan layar ponselnya ke depan mukaku.
"Ishh, lo ganggu aja deh!"
"Cepet! ini penting tau. Lagian lo nggak sibuk kan? Cuma lagi nulis-nulis gitu."
"Ya ini lagi nulis tugas. Gue harus bikin cerita tentang cinta. Lagi asik nih nyeritain Kaina."
Seketika Romi menatapku.
"Lo ngapain gitu ngeliatinnya?"
"Gitu gimana? Udah cepet telpon."
Dengan kesal aku menuruti permintaannya, sementara dia kembali sibuk dengan ponselnya. Namun, setelah dua kali kucoba, tidak ada jawaban dari Damar.
"Nggak diangkat, Rom. Kemana, ya? Ko jadi gue yang khawatir. Tadi lo abis ada kelas sama dia kan?"
"Harusnya. Tapi dia nggak datang. Makanya gue minta lo telponin."
Aku jadi khawatir.
"Rom, cari yuk! Kita ke kosannya."
Romi menurunkan ponselnya, lalu memasukkannya ke kantung celana. "Ayo."
Dengan perasaan cemas, aku mengikuti Romi ke parkiran. Kami tiba di depan sepeda motornya, memakai helm, lalu pergi keluar dari kampus. Tapi, jalan yang ditempuh Romi bukan jalan menuju rumah kos Damar. Aku kenal jalan ini, karena aku sering mengantar Kaina bertemu kenalannya di sini.
Romi menghentikan sepeda motornya tepat di depan sebuah mobil yang sedang parkir, kemudian menepuk lututku dan menoleh ke kaca depan mobil yang kami halangi,
"Tuh, Damar."
Aku kemudian menoleh. Dengan perasaan cemas yang seketika berubah jadi bingung dan terkejut, aku berteriak untuk memastikan perempuan yang sedang menutup wajahnya dengan kedua tangan itu adalah,
"Kaina?!"