Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dunia ini sering kali tidak adil, terutama menyangkut masalah fisik. Ada sebuah peribahasa kekinian yang mengatakan, ketika kamu good looking, maka 80% masalah hidupmu akan teratasi. Realitas yang pahit untuk kaum ‘kentang' sepertiku, tentu saja. Contoh sederhananya, banyak perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan akan memasukkan kriteria “berpenampilan menarik” di dalamnya. Aku yang berada di bawah standar, tentu saja hanya mendapatkan—kadang kala—senyuman juga ucapan maaf.
Aku membuang napas kasar, melihat betapa ayunya seorang konten kreator yang sedang menunjukkan tutorial merias diri melalui video di internet. Dimulai dari mencuci wajah menggunakan sabun mahal—menunjukkan wajahnya yang polos tanpa riasan, tetapi tetap cantik—kemudian krim-krim wajah, serum, dan entah apa lagi karena saking banyaknya aku tidak dapat menghafalnya. Pasalnya, sebagai seorang perempuan 20-an juga, selama ini aku hanya cuci muka, pakai pelembap wajah, dan terakhir bedak bayi untuk paras pas-pasan milikku ini.
“Kenapa hidup ini enggak adil banget, ya, Yun?” ujarku pada Yuni yang tengah selonjoran nyaman di kasur single dengan seprai biru bergambar Doraemon—salah satu pengisi kamar kos ukuran 5 x 4 meter yang menjadi tempat tinggalku saat ini.
“Kalau adil, bukan hidup, Na. Itu akhirat,” timpal Yuni santai. Dia bahkan tidak melepaskan pandangan dari buku novel roman picisan di tangannya.
Aku mendengkus, mengabaikan sebentar ponsel di tangan yang masih menyala menampilkan video make-up dari Mbak Ayu. “Kamu mah enak bisa dandan, cantik pun. Kalau aku?” kataku seraya menunjuk hidung pesekku sendiri.
Yuni berdecak, iris cokelat gelapnya tertuju padaku. “Kamu ini minder terus! Sudah berapa kali kubilang, kamu itu cantik, tapi masih saja menjatuhkan diri sendiri.” Sekarang, kami saling duduk berhadapan.
“Aku enggak bisa merias diri, Yun,” kataku mencoba membela diri.
“Ana, semua perempuan itu cantik. Berhenti mengikuti dan melihat standar yang diciptakan orang-orang.”
Aku cemberut. Sekalipun Yuni mengatakan itu, realitas tetap tidak berubah terhadapku.
“Nah, kamu juga bisa jadi cantik seperti ini menggunakan bedak W ini, lo.”
Suara Mbak Ayu kembali terdengar, membuatku kembali memusatkan perhatian pada ponsel di tangan. Saat ini, perempuan berparas ayu itu tengah menunjukkan sebuah produk berupa bedak dengan merek W yang dia sebutkan dapat membuat orang jadi cantik.
“Lihat nih, Yun! Katanya, bisa cantik karena bedak.”