Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Ucok bekerja terlalu keras. Sampai-sampai dia jadi picik, sifat yang tidak patut dimiliki mahluk yang diciptakan tukang sulap. Aku juga bisa menyulap, tapi aku tidak sepandai tukang sulap yang kubilang barusan. Kemarin malam Ucok memancing, tapi yang dia tangkap ternyata anak Pak Toba. Adeknya Samosir, semua mengira mamaknya ikut mati bersama penduduk, padahal jadi ikan dan melahirkan tiga anak. Yang Ucok tangkap si Mera, yang tertua. Dia girang sekali, sampai-sampai ikut menyelam dan mengapak Mera dengan pisau yang dia bawa. Hari ini dibawa sebagai lauk hasil olahan istrinya malangnya yang tidak tahu apa-apa.”
Pak tua benar-benar tukang sulap, dia bisa membuatku langsung melihat kisah yang dia ceritakan. Aku menggoyangkan ekorku kesenangan. Dia menghargainya dengan mengusap kepalaku.
“Dia membagi-bagi anakku dengan temannya. Jadi kubalas dengan menenggelamkan kapal yang mereka bawa. Kumatikan yang memakan anakku. Aku tukang sulap yang baik, bukan?”’
Dia tertawa. Keras sekali. Tawanya seperti kaca yang dipecahkan. Mengganggu dan sangat tidak enak didengar. Ketika aku menoleh kepadanya, mulutnya yang tertawa terbuka lebar. Aku heran, kenapa aku tidak menyadarinya dari awal kalau ada nanah dan darah yang menetes dari lukanya yang menganga?
Baunya amis dan busuk. Urat-urat di wajahnya timbul dan terlihat hitam mengerikan. Tangan yang mengusap kepalaku lama-lama terasa semakin dingin. Kuku-kuku kotor dan tajam seperti siap memotong leherku.
“Permisi.”
Aku berteriak keras. Meloncat turun dari pangkuan dia yang ternyata berlumpur, ada bau bapak-bapak saat merokok, pekat sekali.
Kuangkat ekorku tinggi-tinggi. Cakar-cakar kukeluarkan. Aku mengambil posisi siap. Mamak harus dilindungi dari aura-aura jahat.
“Maaf menganggu. Ini sirih, tembakau, juga rokok. Aku harap tenggelamnya KM 2 tidak membawa pengaruh buruk pada Wisma yang aku dan suamiku jaga ini. Besok kita kedatangan tamu, Pak Gubernur membawa pejabat penting dari kota. Ini sesajennya. Kuletakkan sini.”
Dia menatapku tajam. Samosir yang duduk di tepi air berubah. Besar. Semakin besar. Tua. Menua. Dan, jadi mirip pak tua ini lalu jadi kakek. Kemudian mati. Lalu berganti jadi kucing kecil yang baru lahir. Berwarna hitam. Terlihat familiar, mirip yang tempo hari kulihat di cermin toko hewan punya pengasuhku.
“Itu memang kau, Samosir! Dan, kau harus pulang juga ke air seperti Mamakmu yang tidak tahu diuntung.”
“Tam. Hitam. Ayo pulang, sayang. Nasi ikan yang kau makan tadi belum dihabiskan.