Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Kamu kira, Rania itu cantik?" tanya Bagaskara kepada Wierdja.
"Sepengetahuanku sih begitu, sebab aku sudah melihatnya dengan kepala mataku sendiri."
"Dia itu hantu! Apa kau tidak sadar??" Wierdja sedikit marah. Mana mungkin penglihatannya salah. Baru dua pekan, kacamata minusnya diganti yang baru.
"Iya, apa kau tidak melihat bayangannya yang tak tampak di cermin?"
"Aku melihatnya sendiri kalau dia itu bukan hantu!! Apa kau menganggap minus mataku bertambah lagi?" Dipalingkan mukanya dan tepat disebelahnya muncullah kehadiran Rania.
"Mengapa kalian membicarakanku?" Wajah Rania berubah menjadi tak sumringah. Pucat pasih di wajahnya semakin menjadi. "Apa kalian kira aku ini hantu? Lihat saja kakiku. Aku menapak." Ditariknya dua laki-laki itu ke cermin besar. Didapatinya bayang Rania jelas di dalam cermin.
Bagaskara mengucek kedua matanya. Bagaimana mungkin? Baru lima menit yang lalu dia mendapati Rania yang tak memiliki bayangan di cermin. Apa mungkin matanya yang rabun? Tetapi tidak mungkin. Mata Bagaskara baik-baik saja. Buktinya dia bisa membaca dari jarak satu hingga dua meter dan bisa juga membaca dalam jarak yang dekat. Normal penglihatan Bagaskara.
"Apa kubilang?" Wierdja berkacak pinggang.
"Menyebalkan!" Pergilah Rania, kembalilah dia ke toko kelontong milik Pak Toni yang bukanya dari jam 08.00-20.30 WIB. Sedangkan hari ini, sudah pukul 23.00 WIB. Mereka yang tak sadar kalau ini hari sebenarnya sudah menjelang tengah malam.
Tepat di subuh, tersiar kabar bahwa Rania yang telah hilang, ditemukan di tiga kilometer dari rumahnya dengan kondisi mengenaskan. Tubuhnya tergantung di sebuah tali tampar dan di pergelangan tangannya terdapat tali rafia biru yang diujung talinya terdapat silet kecil. Di pergelangan tangannya terdapat bekas sayatan banyak.
Dokter yang memvisumnya mengatakan kalau kematian Rania terjadi di dua hari yang lalu. Disinyalir tewasnya Rania karena dua hal. Antara bunuh diri, atau dia dibunuh oleh orang lain.
Wierdja berdecak, "Bagaimana mungkin dua hari? Semalam, aku bersama bagaskara berbincang dengannya."
"Apa kubilang? Dia itu hantu!!"
Keduanya masih saja berdebat.
Rania yang mengetahui keduanya berdebat tertawa bahagia. "Mata mereka mudah ditipu. Mata yang terlalu membodohi si empunya."
Rania, memang tewas karena bunuh diri. Bukan dibunuh orang. Menyoal silet yang ditalikan di rafia dan diikat dipergelangan tangannya, itu sengaja memang dibawanya. Buat berjaga-jaga jika dia tidak kuat menahan sakit saat lehernya terjerat oleh tali tampar, maka jalan terakhir adalah melukai nadi di pergelangan tangannya agar pesakitannya ketika bunuh diri tak terlalu sakit.
"Mengapa kau tak bunuh diri dengan memutus urat nadi di lenganmu saja?" tanya Inten yang juga mati bunuh diri. Dia bunuh diri dengan cara meracuni lambungnya. Dimakannya lombok lima kilo yang dibuatnya jus lalu diminumnya. Padahal dia punya riwayat gerd.
Matinya tak kalah konyol, dia sempat memaki supir yang mengantarkannya ke rumah sakit yang tidak cepat mengemudikan mobilnya. Dia tak tahan dengan rasa sakit diperutnya. Baru sampai di depan pintu rumah sakit, dia tewas dengan mata yang memerah dan keluar kotoran hitam cair deras di anusnya.
Rania melengos, "Apa aku tidak boleh bunuh diri menggunakan dua cara? Apakah harus ada standart yang baku ketika mau bunuh diri? Hidup sudah susah, masa mau mengakhiri hidup saja, dibuat terlalu susah?"
-Selesai-