Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Memasuki pekarangan Mbah Sukmo hari sudah gelap. Rumah penduduk juga berjauhan. Seram amit sih bisik hatiku. Kisah ketemu Pocong pincang ini bukan rekayasa tapi benar-benar terjadi saat liburan ke rumah temanku. Suasana alam juga seperti mendukung waktu itu, langit yang sebelumnya terlihat ada penampakan bulan penuh tiba-tiba mendadak tertutup awan. Bisikan angin menambah semua bulu kuduk merinding. Serem sekali.
Nama temanku Dahlia dan aku Mawar. Kami satu kampus di universitas terkenal di Yogyakarta jurusan komunikasi. Liburan akhir semester satu, Dahlia mengajakku ke rumah Mbahnya di desa terpencil. Nggak terpencil banget sih, tapi masih jauh sekali dari kota. Daripada aku pulang ke kota asalku, Bandung mending aku ikut dengannya.
Pintu rumah diketuk. Lama tidak ada suara. Dahlia coba memanggil nama Mbahnya lebih kuat lagi, “Mbah … Mbah … ini Dahlia Mbah, buka pintu!’’ Mungkin Mbahnya sudah kurang pendengaran.
Ada tukang ronda yang lewat dan menyapa kami. Waahhh, kagetnya saat dikasih tahu kalau Mbah Sukmo sedang ada di desa sebelah membantu orang yang sedang melahirkan. Menunggu di luar dengan kondisi yang menyeramkan begini, ampun deh. Dahlia mengajakku ke ayunan di belakang rumah. Ayunan dari umur dia tujuh tahun masih awet menggantung di pohon jambu kelutuk. Gila, pokoknya tambah seram banget. Di belakang rumah banyak pohon pisang yang berdekatan. Dahlia seakan tak peduli ketakutanku dia asik bermain ayunan.
Uget-uget wujudnya kulihat dari dekat pohon pisang. Warnanya putih. Bentuk ikatanya seperti buntelan permen FOX. Aku perhatikan lagi, percaya dan tak percaya.
“Dahlia itu apaan … Dahlia, coba kamu lihat?’’
“Apaan sih Mawar, sini mending kita main ayunan, aku pangku kamu.’’ Dahlia mengabaikan kekhawatiranku. Tanganku main ditarik aja. Pas aku di pangkuannya. Dahlia coba mengayun ayunannya dan ….
ADUUHH …. Remuk pantat kami. Gila sakitnya. “Kamu sih Dahlia, mana kuat tali ayunan untuk kita berdua.’’
“Ha ha ha ha ha ha …” Dahlia malah tertawa lepas, “Gila, seru banget Mawar.’’
“Seru mbahmu, aduuhhh ….”
Kami coba berdiri sambil menahan pantat yang sakit. Kaki kami berhenti seketika, ada yang memberi senyum persis di depan kami. Apa ada manusia yang memakai model baju seperti itu sih? Make-upnya juga tebal banget. Apalagi giginya kekuningan, kalau rata masih mending tapi ini semua giginya pada tumpang tindih. Aduh kenapa nggak di kawat aja sih biar rapi.
“Kamu siapa …?’’
“Dahlia … kayaknya Pocong deh …’’
“Masa sih Pocong, coba kalau kamu Pocong tunjukan buktinya.” Sumpah ini si Dahlia nggak ada rasa takut-takutnya malah nantangin Pocong.
Toweng toweeng toweeng. Kalau di filemkan, si Pocong manggut-manggut. Aku menarik napas melihat Pocong seperti bersahabat.
Wuiiihhhh, kok si Pocong?
“Ehhh, Cong, kamu pincang?’’
Toweeng toweeng toweeng. Si Pocong manggut-manggut lagi.
Ha ha ha ha ha ha ha … Dahlia tak kuasa menahan tawanya. Aku yang tadinya takut jadi ikutan ketawa tapi sedikit. Kasihan juga melihat si Pocong loncatnya pincang begitu. Apalagi tangan dan kakinya diikat. Orang yang mengubur pasti nggak punya hati, udah tahu sewaktu hidup dia kakinya pincang, ehhh tidak dilepas ikatanya.
Kami pun jadi bersahabat dengan Pocong pincang sambil menunggu Mbah Sukmo. Nggak takut lagi deh, Cong!