Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Semoga dikuatkan lagi ya bahunya!"
Begitulah doa tiap orang kepadaku. Aku hanya bisa tersenyum tipis meskipun sebenarnya merasa sedih. Bukan karena doanya. Melainkan karena menyadari kenyataan bahwa bahuku masih tidak terlalu kuat seperti yang selalu ku usahakan. Diperparah oleh penyampaian orang lain yang tak sungguh mengenaliku. Apakah seberat itu kehidupanku dimata mereka? Aku langsung termenung untuk beberapa saat.
Tak dapat ku sangkal. Meski tak berat, ini tak bisa dikatakan mudah untuk dilalui. Kehidupanku, kehidupan seorang remaja 17 tahun yang ditinggal pergi oleh ibunya, kemudian kakaknya, dan kini seatap dengan seorang ayah egois yang pengangguran. Rasanya seperti akhir dari kehidupan. Tak ada alasan untukku bertahan. Namun, tak ada cara pula untukku mengakhirinya. Bukan pilihan, aku tetap melanjutkan hidup di tengah-tengah derita yang tak berkesudahan.
Aku masih mengingat dengan jelas kejadian sekitar dua tahun yang lalu, ketika aku ditimpa kepedihan terberat yang tak pernah kubayangkan; ibuku pergi ke pangkuan Sang Ilahi. Saat itu, aku tak memikirkan apapun. Rasa kehilangan sepenuhnya menguasai diriku. Hingga aku lupa menyadari eksistensi kakakku yang tiga kali lipat lebih hancur. Dia pasti sangat menyesali mengapa tak pernah bisa menghabiskan waktu bersama Ibu dan memilih tetap di Bogor. Dia pasti merindukan Ibu setiap hari seperti aku melihatnya. Dia sangat terpukul jauh daripada aku. Namun, aku tak tahu bagaimana cara untuk menenangkannya. Aku hanya bisa membiarkannya menyendiri dan berharap dia bisa pulih seiring berjalannya waktu.
Waktu pun berlalu dengan semestinya. Dari aku yang kembali bersekolah menjadi libur kembali. Dari Kakakku yang telah berangkat pergi ke Bogor menjadi pulang kembali. Dan dari semua itu, ada satu hal yang tak bisa kembali. Suasana rumah yang hangat menjadi sangat menyeramkan. Sebuah hal yang segera diketahui oleh Kakakku sejak setibanya dia di rumah. Dia bahkan tak perlu bertanya lagi kepadaku tentang apa penyebabnya.
Sejak saat itu, aku merasa seperti berada di neraka. Ayahku tak pernah absen untuk melampiaskan amarahnya kepadaku atau Kakakku. Tangannya tak pernah mau diam barang sehari untuk tidak menampar. Kebingungan mencari makan selalu kurasakan mengingat Ayahku adalah pengangguran. Tiap harinya pula, tak henti-hentinya aku mendengar tangisan Kakakku. Entah itu pada saat membaca Yaasin, atau dalam shalat sepertiga malamnya, atau saat dia melarikan diri ke makam Ibu. Semua yang terjadi tiap harinya di rumah selalu seperti itu. Berulang-ulang, dan terus menerus hingga aku muak.
Segalanya pun semakin memburuk. Kakakku didiagnosa kanker otak. Kuliahnya harus terhenti. Ayahku tak ada perubahan. Aku benar-benar merasa seorang diri. Terlebih lagi ketika Kakakku berkata seperti ini.
"Kalau Kakak kenapa-kenapa nantinya, ikhlasin aja ya, Dek. Kakak bakal senang kalau bisa bersatu sama Ibu."
Air mataku tumpah ruah begitu perkataannya menjadi kenyataan. Aku menyesal mengapa tak menyadari bahwa dia belum bisa menerima kepergian Ibu. Belum bisa hidup tanpa Ibu. Belum bisa jika harus menahan semua kerinduannya kepada Ibu. Aku menyesal mengapa aku tak melindunginya dari Ayah. Tak berusaha untuk menenangkannya dalam tangis. Aku menyesal mengapa baru sekarang. Aku seharusnya menyadarinya. Bukan aku yang terpuruk di sini sebenarnya, melainkan Kakakku. Dan, daripada memilih untuk ikhlas, ikut hidup bersama Ibu dan Kakak adalah pilihan terbaik.