Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di hadapan pohon tua yang begitu besar aku menggerutu, mencaci dan memaki. Ditinggalkan yang terkasih adalah kenyataan pahit yang tak pernah terlintas untuk dialami. Memberi rasa yang begitu dalam seperti pertaruhan yang berbanding lurus dengan sakitnya kehilangan.
Kepada pohon pula aku berkeluh, kehilangan itu menyakitkan. Selayaknya luka tak berdarah, sesaat ada yang bergejolak dalam dada yang sulit untuk didamaikan.
“Tenang lah, hidup memang begitu. Memiliki berarti menuju kehilangan, dan itu akan terjadi. Cepat atau lambat, dijaga atau pun dibiarkan.” Pohon seolah mendengar semua keluhanku.
“Kau hanya sebuah pohon!”
“Kau tak pernah mengerti rasanya memiliki, kau tak mengerti pula rasanya kehilangan.” Aku memaki karena ia seolah paling mengerti perasaan ini.
Pohon tetaplah pohon. Tak seharusnya ia mengingatkanku tentang kehilangan. Seharusnya ia menyadari cepat atau lambat ia akan roboh karena menua atau ditebang.
“Ya, aku memang hanya sebuah pohon yang tak mungkin mengerti makna dan rasanya kehilangan.”
“Aku disini hanya berdiam. Menyaksikan satu per satu daun bersemi. Tumbuh dari hijau hingga mulai menguning. Dari segar hingga keringnya. Dan satu per satu kusaksikan pula bergugurannya.”
“Bukan maksud tak ingin mengeluh, bukan pula merasa tangguh. Tapi satu yang kupelajari tentang menerima sebuah porsi, mungkin ini memang tak takdirku.”