Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kursi-kursi lipat sudah tertata rapi memenuhi aula utama gedung C Fakultas Pertanian. Beberapa mahasiswa dengan tanda pengenal panitia berlalu-lalang di ruangan yang masih tampak sepi itu. Waktu menunjukkan pukul 7:34 pagi, dimana acara di aula itu akan dimulai tepat pukul 8:00 nanti. Terlihat beberapa mahasiswa diluar aula, ikut meramaikan persiapan bazar makanan dan minuman dari beberapa sponsor dan partnership dalam kegiatan tersebut.
“Kita open gate jam 8:00 tepat ya, buat keamanan jangan lupa bantuin Divisi Acara yang kebagian screening tiket di pintu utama. Kalau bisa, diperketat yang depan dulu.”
Intruksi dari ketua pelaksanan acara seminar itu ditanggapi dengan sigap oleh panitia yang memang sudah ditugaskan.
“Eh PDD sudah ada yang turun ke depan untuk dokumentasi, Win?”
Wina –wakil koordinator Divisi PDD– menanggapi pertanyaan dari Koordinator Divisi Acara dengan anggukan pasti, “Sudah ada tiga anak yang turun ke luar. Sisanya bakal di dalam semua, Kas.” Lanjutnya sembari mengalungkan kamera.
Suara timbul tenggelam terdengar semakin ramai mendekati waktu open gate yang telah ditentukan. Mulai dari percobaan audio, mikrofon, tampilan PowerPoint, dan beberapa kepentingan lainnya agar tidak terjadi kesalahan ketika berlangsungnya acara.
Sepuluh menit sebelum acara dimulai, keriuhan itu mulai teredam. Digantikan dengan bfriefing singkat oleh ketua pelaksana. Suasana mulai terkendali. Dan tepat pada pukul 8:00, peserta seminar mulai memasuki ruangan setelah sebelumnya menjalani pemeriksaan tiket oleh Divisi Acara.
***
“Jika kamu dihadapkan dengan pertanyaan dengan jawaban yang ditawarkan adalah iya, tidak, dan mungkin, apa yang akan kalian pilih?”
Semua terdiam. Dari seratus lebih peserta seminar dalam aula itu terdiam mendengar pertanyaan yang terlontar dari pemateri. Tidak lama, seorang peserta dari pojok sebelah kanan bagian depan mengangkat tangan.
Menerima mikrofon yang diberikan panitia, “Halo, nama saya Enggar dari Angkatan 2020. Menurut saya jawabannya tergantung dengan pertanyaannya kak, karena kita bisa menjawab apakah itu iya, tidak, dan mungkin ya berdasar pertanyaan yang diberikan.”
“Loh, kan tadi saya kasih pertanyaan? Sekarang gini deh, kalau misal kamu diminta menjawab iya, tidak, dan mungkin, apa yang akan kamu pilih?”
“Em, random saja ini ya kak, saya akan memilih ‘mungkin’ dan memberikan alasan serta rasionalisasi saya.”
“Oke, terimakasih Enggar. Kebanyakan orang akan memilih ‘mungkin’ dan sesuai dengan jawaban Enggar tadi. Tapi, pernah saya menanyakan ini dengan seorang teman, jawabannya adalah tidak.”
Terdengar beberapa dengungan dari arah peserta seminar itu. Sedangkan seorang gadis dengan tangan memegang kamera terdiam. Diturunkan pelan kamera yang tadinya ia gunakan untuk mengabadikan pelaksanaan acara.
“Tidak. Karena dengan tidak, aku tidak perlu memberikan alasan. Karena tidak berarti ya sudah cukup –berhenti. Hidup itu simpel saja, kalau memang tidak ya tidak saja, tidak perlu memberikan alasan yang malah aneh. Toh, nantinya kita masih memiliki waktu sampai kita paham dan bisa memilih iya.”
Menggelengkan kepala. Wina tersenyum kecil. Kalimat itu pernah diucapkannya beberapa tahun lalu. Ah, tidak selampau itu. Tepatnya saat ia masih mahasiswa baru, sebelum kesibukan dunia perkuliahan dan seperangkatnya mulai mendekati.
Ia pernah mengatakan kalimat itu pada seorang teman. Seorang teman yang saat ini berdiri di atas panggung dengan mikrofon.
Ezra, teman pertamanya di kampus yang terpisah karena jalan mereka berbeda –organisasi dan prestasi.