Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
[Disembunyikan Gelap]
“Ada masalah, Dek?”
Tersenyum canggung, Airise mendekat pada gadis berkerudung krem dengan name tag bernama Sesilia. Di dekat Sesilia, kerumunan panitia yang tadinya masih asik berbincang, terdiam dan memusatkan perhatian kepadanya.
“Halo kak, saya Airise dari kelompok 4. Um, izin bertanya untuk perlak nanti apakah ada tambahan lagi dari panitia? Soalnya pas briefing tadi, kalau enggak salah bakal dikasih lagi.” Ia hembuskan napas pelan. Lancar tanpa kesalahan, tapi terkesan terlalu formal.
“Iya nanti ya dibaginya. Masih diperjalanan yang bawa tambahan perlak.” Jawab gadis berkerudung yang tadi memanggilnya –Sesilia.
“Oh yaudah, makasih ya kak. Kalau gitu, saya balik ke temen-temen.”
“Usahain tenda bener-bener rapat ya, jangan sampai air bisa masuk. Soalnya diperkiraan cuaca nanti malem bakalan hujan–”
Belum sempat ia membalas pesan dari salah satu panitia Leadership Camp yang ia ikuti, perhatian berpindah ke segerombolan panitia lain yang kembali dengan beberapa barang.
“Oh, itu perlaknya udah dateng. Sekalian diambil aja ya, Dek.”
Airise mengangguk dan menunggu sampai semua barang diturunkan. Setelah siap, ia mendekat. Panitia yang tadi sudah kembali ke atas –tempat parkir yang letaknya di daratan atas– untuk mengambil beberapa barang lainnya.
“Ambil dua ya, biar bisa nutup bagian samping sama alas.” Perintah salah satu panitia berambut sebahu.
Diambilnya dua perlak sesuai perintah, “Bisa bawa sendiri nggak, Dek?”
Langkahnya terhenti, ia kenal suara itu. Ditya, Ketua BEM yang sehari-hari menjadi bahan perbincangan teman-temannya.
“Bisa kok, Kak. Saya permisi dulu ya, terimakasih.”
“Eh, jangan macem-macem sama maba ya.”
Suara itu sayu terdengar di belakang, begitupun tawa ringan dari Ditya menanggapi teguran rekannya. Sedangkan Airise, melangkah pelan dan mencoba fokus agar tidak terjatuh. Kedua perlak itu menghalangi jangkauan pandangannya.
Dentum di dadanya masih ada, keringat di kedua telapak tangannya juga terasa. Semoga saja perlak-perlak itu bisa sampai dengan selamat ke tenda, harapnya.
***
Senter kecil itu tidak mampu menerangi terlalu jauh. Airise hanya mampu berdo’a semoga ia bisa kembali ke tenda dengan selamat setelah menyelesaikan urusannya di kamar mandi. Nia tidak mau menemani dan malah memberinya senter kecil.
Untung saja suara tawa dari warung atas masih terdengar, mungkin panitia. Meskipun tidak terlalu gelap, tentu saja ia takut.
Eh kok kayak ada yang ngikutin?
Dari semua yang ia pikirkan, pikiran mengenai makhluk lain adalah juaranya. Suara langkah itu terdengar dekat dibelakangnya. Tidak ragu, ia mempercepat langkah. Tapi ia lupa, senter itu terlalu kecil dan tidak mampu menunjukkan adanya genangan di depan.
Ia tidak jatuh, tapi ia merasakan lengannya dipegang oleh seseorang. Benar-benar seseorang karena telapak tangan itu hangat.
“Hati-hati, ini aku. Lanjut aja jalannya, aku dibelakang.”
“Makasih, Kak.” Menegakkan tubuh, Airise berjalan kembali.
Sunyi, tapi ia tenang. Ada seseorang di belakangnya. Tapi, jantungnya tidak tenang. Pipinya pun mencoba ikut merusuh, pun bibir yang mencoba untuk tertarik. Tapi malam dengan apik menyembunyikan, pun dengan senyum dari Ditya yang tidak mampu ia lihat. Gelap adalah pemeran terbaik untuk menyembunyikan sesuatu.
“Segeralah tidur. Selamat malam, Air.” Suara itu pelan dengan pengucapan yang terdengar hangat.
Dan tenda pun menyembunyikan Airise dari Ditya. Mungkin seterusnya, bukan gelap saja yang menyembunyikan. Tapi keadaan pun akan ikut berperan.