Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kelontang kepingan receh yang membentur dasar kaleng selalu menjadi musik kesukaanku. Sebab itu berarti kami semakin dekat dengan pintu rumah.
Terbungkus seragam putih-merah lusuh dengan kancing tak serupa hasil mengorek-ngorek keranjang jahit, aku membuntuti badut lembu itu. Terik siang mendidihkan kaleng bekas biskuit Lebaran silam dari bingkisan sumbangan di tanganku. Namun kendati demikian, tak urung kudekap erat-erat. Benda ini adalah penambat kami pada sepiring nasi. Tanpa kaleng ini, Ibu terpaksa menjadi lembu sampai larut.
Ibu tak pernah memintaku untuk ikut. Sebaliknya, berkali-kali ia memintaku jaga rumah. Namun aku menggeleng bandel, enggan membiarkan badut lembu bergerak seorang diri. Supaya lebih meyakinkan, terkadang aku ikut berjoget tatkala lagu ceria dari kotak pemutar musik yang Ibu bawa bertubrukan dengan gerung knalpot dan teriakan sopir angkot.
Mulanya kupikir mereka memberi kami uang karena terhibur. Namun semakin lama kutiti langkah Ibu, semakin aku tahu bahwa kami bukan menjual hiburan. Kami menjual belas kasihan.
Sekali waktu saat tengah mengaso, pandanganku menyeberang dan hinggap ke sebuah toserba yang baru buka. Kemeriahan di sana menyita fokusku lebih lama dari seharusnya. Ada badut kucing merah jambu sedang membagi-bagikan balon dan selebaran. Kuamati lekat-lekat badut itu, kemudian membandingkannya dengan kepala lembu lusuh yang kini tergolek di kaki tiang listrik. Betapa tegas perbedaannya. Seperti membandingkan air minum dengan air bekas kobokan.
“Ibu kenapa enggak jadi badut kayak begitu?” tanyaku dengan telunjuk menuding ke seberang jalan.
Ibu tersenyum, membuat gurat-gurat usia kian tegas. Namun anehnya, hal tersebut justru menjadikan senyum Ibu lebih tulus. “Kalau lembu sama kucing diadu, yang menang siapa?”
“Kenapa harus diadu?”
“Betul, kenapa harus diadu?” Ibu balik bertanya. “Kenapa harus dibandingkan?”
Malam harinya, kupungut sikat dari tepi sumur di belakang rumah. Lantas saat Ibu lelap, kusikat lembu milik Ibu supaya tidak kalah kalau diadukan dengan kucing toserba tadi. Garukan sikat terdengar seperti polusi suara dalam senyap malam. Namun samar-samar, telingaku menangkap suara lain. Seretan sandal karet yang disusul lantunan lembut pertanyaan, “Kamu lagi apa?”
Kepalaku menoleh, mendapati Ibu sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah cemas. Entah bagaimana, namun tiba-tiba selaput hangat mengaburkan pandanganku. “Supaya lembu menang lawan kucing.”
Dengan lembut, Ibu meraih sikat dari tanganku, lantas meraihku ke dalam dekap. Semilir angin malam yang sedari tadi mematuki tulang, kini lebur oleh rengkuhan pesam. “Seperti kata Ibu tadi, kenapa harus diadu? Kenapa harus dibandingkan?”
Esok harinya, saat kami mengaso di tempat sama, badut kucing itu sudah tidak ada. Kemeriahan kemarin berganti jadi kesibukan biasa. Sudut-sudut bibirku terangkat. Lembu mengalahkan kucing.
Namun kemenangan tak berlangsung lama. Menjelang sore, musik ceria yang mengalun di atas simfoni klakson dan raung knalpot, terpangkas seketika. Aku menoleh, tepat saat kepala lembu menggelinding membentur kaki trotoar. Sebuah sepeda motor bebek melaju kencang, menabrak Ibu dari belakang.
Kucing dikalahkan lembu, lembu dikalahkan bebek.
Sejak hari itu, kelontang kepingan receh yang membentur dasar kaleng tak lagi menjadi musik kesukaanku.