Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Hentikan semua persiapan lamaran,” kata, Fe, yang baru tiba di rumah sambil melepas maskernya.
Mendengar itu, kegembiraan dua keluarga yang sedang zooming membahas acara Dru melamar Fe, memburam seketika.
“Lamaran akan dilakukan secara virtual,” kata ibunya yang menduga Fe sedang galau. Sahabat baiknya positif covid, sedang dirawat di ICU. Saturasinya terus merendah dan mengalami sesak napas.
Fe berdiri di antara ayah dan ibunya, bergabung tampil di layar laptop.
Ia tidak menatap siapapun saat mengatakan, “Saya minta maaf…”
Kalimat itu membuat jantung ayahnya berdebur-debur. Ia ingin putrinya mengatakan sesuatu yang menjadi harapannya. Sampai saat ini ia belum sreg menerima Dru menjadi menantunya. Hubungan keduanya belum genap 100 hari!
“Kami sudah dewasa, sudah bekerja, tak ingin menunda niat baik. Saya ingin melamar putri bapak, Fesila Damara. Menikahnya dalam waktu tak lama.” Dru mengatakan itu di teras rumah, satu sore di bulan Juni yang masih dilimpahi hujan.
“Jawabannya saya serahkan pada Fe.” Namun itulah jawaban yang keluar dari mulutnya sambil menatap wajah putrinya yang diliputi kegembiraan yang ranum.
Entahlah, ia merasa ada sesuatu di wajah Dru yang tenang namun terkesan mengancam itu. Menurut istrinya, itu perasaan lumrah seorang ayah karena akan kehilangan anak perempuannya. Khawatir lelaki pilihannya tak bisa menyayangi dan menjaga seperti dirinya.
Hampir saja ia bersorak ketika mendengar Fe mengatakan, “Dua jam lalu hubungan saya dan Dru tamat…”
Namun alasan Fe sungguh di luar dugaan semua yang ikut zooming.
“Keyakinan kami berbeda…”
“Kami membesarkan Dru dengan keyakinan yang sama dengan keyakinan keluargamu,” sela ibunya, Dru dengan suara menigkat beberapa oktav.
Fe menggelengkan kepala keras-keras. “Saya percaya virus corona, Dru tidak. Ia juga menolak divaksin!”