Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Lama ku pandang sosok yang mirip denganku, berbalut gaun nuansa putih, make up yang terkesan natural dan sanggul rambut yang kata perias di buat model modern. Cantik. Puas ku pandang diriku sendiri, senyumku perlahan pudar, air mataku menetes kembali. Sayang sekali, sesosok yang mirip denganku juga sedang menangis, pandangannya kosong sepertiku.
“Kita sudah menaiki kapal yang sama, sekarang hanya ada satu pilihan. Melanjutkan perjalanan atau karam ditengah jalan.”
Kutekankan setiap kalimatku, tak henti-hentinya ku tatap tajam sepasang mata tegas milik Nanda, pacarku selama lebih dari sepuluh tahun ini. Malam itu, aku memang marah, kesal dengan keadaanku. Biarkan saja gerimis ini berubah menjadi hujan yang siap menyatu dengan kesedihanku. Nyatanya, dia tidak pernah serius untuk mendekatiku, memacariku selama lebih dari satu dekade ini.
“Sepuluh tahun, aku menunggumu, selepas S1 kau bilang kalau kau ingin fokus bekerja. Okay.. aku menunggumu. Setelah itu, kau fokus S2, aku mendukungmu. Selesai S2, kau ingin fokus bekerja, aku tak mengganggumu. Setelah itu, kau menundanya kembali?” Aku tertawa. Ya. menertawakan diriku sendiri yang terlewat bodoh!
“Tapi, itu semua demi kau... "
“Salah. Aku tidak butuh kata demi kau. Aku tidak menginginkannya. Kau berlari sangat jauh tapi aku masih ditempat yang sama dan hanya mendukungmu?”
Nanda seperti itu. Ia sangat gila dengan mimpi-mimpinya, baginya ia harus membuat kedua orang tuanya bangga akan prestasi-prestasinya. Tak termasuk memiliki pendidikan tingginya. Sudah kerja jadi kepala cabang di salah satu bank swasta, tetapi Nanda masih saja haus akan ilmu dan tidak pernah ingin melenceng pada ambisinya. Biar saja aku terlewat egois, nyatanya kita berdua benar tidak ada harapan lagi.
Sebenarnya, aku muak berdebat dengan Nanda yang permasalahannya selalu berputar dengan kata pernikahan. Namun, kedua orang tuaku selalu mendesak untuk terus meninggalkan Nanda jika Nanda tidak memiliki niat untuk lebih serius dengan ku. Apalagi, banyak saudara-saudara dan keluarga besar ku yang selalu saja menanyakan tentang urusan pernikahan padaku. Ya. Keluarga ku hampir sebagian besar masih berasal dari Jawa, banyak yang menyebutkan wanita tidak boleh kelamaan dalam mencari suami.
Dengan cepat aku menyambar sehelai tisu diatas meja riasku. Mengusap perlahan, hari bahagia ini, aku memang tidak boleh menangis. Walaupun aku sedih dengan kenyataan yang akan kuhadapi, jika seseorang yang melamarku bukanlah Nanda, melainkan Roby, anak teman Papah.
Aku mengatur pernafasanku, menenangkan diriku sendiri. Aku memandang wajahku kembali, kutegakkan daguku, mencoba untuk melupakan semua kejadian semalam bersama Nanda.
“Kapal kita telah karam, tapi aku masih berharap untuk berlayar bersamamu.” Setidaknya, mengucapkan harapan adalah hal yang baik dan aku meyakininya.
“SYILAA ... SYILL...”
Sayup – sayup aku mendengar suara Nanda kembali. Ya Tuhan, sudah mencoba melupakannya, tapi masih saja terdengar suaranya. Sesaat kemudian, suara teriakan Nanda bercampur dengan suara gaduh didepan rumahku.
Aku penasaran, kuberanikan diri keluar rumah, dan menemui seseorang yang memang ingin ku temui. Nanda. Ia berdiri dengan kemeja yang sangat rapi, seperti biasanya. Berdiri tegak di luar pagar dengan membawa seikat bunga mawar berwarna putih, bunga kesukaanku.
“Syilla, maukah kau menikah denganku?”
Dari tangannya yang lain ia menyodorkan sebuah cincin. Sungguh berantakan, tapi aku menyukai caranya melamarku yang telah lama aku nantikan.
-selesai-