Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pernah dengar atau tahu soal orang kesurupan, pasti tidak asing lagi di telinga kita yang merupakan orang timur. Fenomena kesurupan memang kerap sekali terjadi di tempat-tempat yang angker, gelap, kotor, atau tidak berpenghuni dalam waktu yang sangat lama karena dianggap kondisi itu berpotensi menjadi tempat tinggal makhluk-makhluk astral. Kenyataannya, kesurupan kali ini berbeda sekali dengan yang sering aku tahu dan coba cari tahu bagaimana mengatasinya baik secara keilmuan ilmiah maupun ilmu spiritual.
Awalnya, aku tidak percaya juga dengan apa yang sedang aku hadapi dengan keluargaku. Bagaimana tidak, biasanya kami hanya menonton fenomena kesurupan di media sosial walaupun kebanyakkan disuguhkan prank atau penelusuran mistis atau penyembuhan secara spiritual. Maklum di era digitalisasi saat ini, sangat untuk mengaksesnya dan banyak content creator juga yang mulai melirik.
Kejadiannya bermula dari perbincangan ringan antara aku dan ibuku ditemani semilir angin diujung senja seusai hujan lebat yang mengguyur kediaman kami siang tadi.
“Kapan kamu akan menikah”, tanya ibuku memecah kesunyian kala itu.
“Menikah”, teriakku dengan spontan dan membuat ibuku tersentak.
“Jangan paksa aku untuk menikah karena aku tidak akan menikah”, lanjutku panjang lebar dan terlihat dari kekesalan, kekecewaan dan marah yang luar biasa di raut wajah cantik ibu ku.
Tanpa membatah satu patah katapun, ibu meninggalkanku dan masuk ke kamarnya.
“Apa ibu kesal dengan perkataanku barusan”, gumamku.
“Harusnya aku yang kesal bercampur emosi dong lah khan aku yang menderita”, lanjut gumamku.
Tidak berselang lama, ibu keluar dari kamarnya dan tiba-tiba berteriak-teriak dan membuat seluruh penghuni rumah yang saat itu sedang berada dikamarnya masing-masing keluar menghampiri kami.
“Waktuku tinggal tiga hari lagi kamu harus segera menikah”, teriak ibu kepadaku.
“Kilia ada apa dengan ibu”, tanya bapak kepadaku.
“Kakiku sudah mulai dingin dan sudah banyak yang menungguku”, teriak ibu kemudian kepada kami.
“Waktu apa dingin kenapa siapa yang menunggu” , jawab bapak sambil menggoyang-goyangkan badan ibu karena tidak percaya ibu akan mengucapkan itu dan ibu meronta-ronta ingin melepaskan tangan bapak.
“Ibu akan pergi setelah tiga hari jadi jangan menyesal Kilia jika kamu tidak bisa memenuhi keinginan ibu”, teriaknya terakhir kali dan akhirnya jatuh tidak sadarkan diri.
“Nipi Kilia bantu bapak angkat ibumu kekamar”, kata bapak dengan histeris melihat ibu dalam keadaan seperti ini.
Kami mencoba untuk tidak panik dan tenang, karena hanya dengan kepala dingin yang dapat memberikan solusi. Keadaan semakin tidak terkendali karena berbagai cara sudah kami lakukan, dari memberikan minyak angin, membaca doa dan menepuk-nepuk wajah ibu untuk membangunkan tetap saja ibu tidak kunjung sadar.
“Kilia lihat mata ibu”, seru Nipi.
Mata ibu memang membuka tetapi tatapannya berbeda dan memandang tajam kami semua. Bapak langsung menekan ibu jari kanan ibu sambil berbisik.
“Ahhhhhhhhhhh Kiliaaaaaaaaa”, Jerit ibu terbangun dan langsung memelukku dengan erat diikuti tangisan keras.
“Aku minta maaf ibu”, jeritku dan air mataku meluncur deras ke pipiku.
Aku berbisik lembut kepada ibu ku, bahwa aku akan menikah. Aku menyadari satu hal dari kejadian ini entah kesurupan atau kecemasan atau depresi yang terjadi pada ibu, yang jelas tekanan ibu jari yang bapak lakukan mengingatkan satu artikel yang aku baca bahwa ibu sedang cemas dengan aku.