Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kopi dan hujan, kawan sempurna tuk mengarungi lautan kenangan. Bukan bualan atau kiasan semata, sebab aku lah pemerah utama dalam nostalgia tak berkesudahan ini.
Duduk di salah satu sudut Porphyrous cafe, aku berulang kali membuang napas dengan berat. Bukan sebab hujan merantai langkah hingga tak mampu beranjak pulang. Namun ....
"Ayolah, Willa. Hubungan kalian sudah berakhir. Alihkan pandanganmu darinya. Ada banyak pria tampan di sini jika kau mau."
Alena dan seluruh tutur katanya benar. Hubunganku telah usai, tapi aku bisa apa selain menyunggingkan senyum perih tanpa alihkan atensi, lekat memandang pria di depan gedung pencakar langit di seberang jalan.
Meski sudah dua musim berlalu, rasaku tak bisa sejalan dengan logika Alena. Bagiku, pria beriris hijau itu masih jadi poros hidupku.
"Mustahil untuk kalian kembali, Will," ujar Alena memperingatiku.
"Aku tahu."
Aku masih bertopang dagu dengan tatapan penuh kerinduan, merekam gerak-gerik pria berbalut jas berwarna abu-abu itu.
Wajah seriusnya yang menerima telepon adalah ekspresi favoritku. Seksi. Begitu aku mendefinisikannya selama ini. Dan satu-satunya hal yang ingin kulakukan kini adalah membelai wajah tampannya. Merasakan cambang tipisnya menusuk-nusuk telapak tanganku. Meraba alis tebalnya, juga bibir tipisnya yang jadi candu dengan jejak rasa yang begitu kurindu.
Tapi sayang, segala khayalku harus sirna tatkala seorang wanita berkemeja putih dengan rok pensil biru dongker yang baru saja keluar dari pintu utama gedung itu mengecup pipi kirinya sekilas.
Pada akhirnya, semesta menamparku dengan fakta tak terbantahkan, bahwa aku lah satu-satunya orang yang tak beranjak dari masa lalu. Aku lah satu-satunya orang yang bertahan dalam kenangan. Sebab priaku ... ah, bukan. Mantan priaku, Damien Celeste, telah menemukan tempat baru bagi hatinya berlabuh. Melanjutkan kisah hidupnya bersama sang istri.