Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Mak, abang mau minta pendapat Mak dan Yah", kataku ketika sambungan videocall malam ini ke nomor Mamakku.
Mamakku berjalan ke kamar, membangunkan Ayahku yang sudah tidur. Sekarang pukul 23.14, aku memang jarang sekali menelepon mereka malam-malam. Tapi, malam ini aku butuh saran dan masukan dari kedua orang tuaku. Ini adalah keputusan yang tidak bisa aku ambil sendiri.
"Maaf ya, abang ganggu waktu istirahat Mak dan Yah."
"Ngga papa. Abang butuh saran apa?", ayahku bertanya dengan mendekatkan layar handphone sampai aku bisa melihat lubang hidungnya. Ku biarkan saja, karena bagi orang tuaku tidak ada bedanya antara videocall dengan telepon biasa.
"Namanya Rahma, umurnya 29 tahun, Yah," aku mulai bercerita, dan hebatnya kedua orang tuaku tidak ada yang memotong kalimatku, tapi aku bisa mendengar Mamak bisik-bisik ingin ikut melihat ke layar handphone.
"Tadi sore, abang dikenalin sama Mas Arno, atasan abang di kantor, Rahma teman sekantor Mba Tiara, istri Mas Arno."
"Nak Rahma cantik, Bang?", tanya Mamakku penuh selidik.
"Tidak lebih cantik dari Mamak," aku berkata jujur, Rahma memang tidak secantik Mamak. Atau lebih tepatnya mereka punya aura tersendiri. Mamak berwajah kembang desa, yang kata Mak Syik, mamakku adalah idola laki-laki pada zamannya. Sedangkan wajah Rahma sangat biasa saja dan mudah untuk dilupakan. Mendengar jawabanku, Mamak memicingkan mata.
"Dia orang berkecukupan, Bang?", tanya Yah tanpa ekspresi..
"Tidak lebih kaya dari Yah," lagi-lagi aku berkata apa adanya. Dia tidak pernah bercerita, karena memang kami baru bertemu beberapa jam yang lalu tapi Mas Arno bilang, Rahma berasal dari keluarga yang biasa saja, cenderung sangat sederhana.
Mendengar jawabanku, ayah memberikan handphonenya ke mamak. Aku tidak paham dengan ekspresinya. Apakah beliau berharap aku mendapatkan wanita yang kaya raya? Jika iya maka Rahma tidak akan masuk kriteria.
"Abang jatuh hati sama nak Rahma?", Mamak langsung pada pointnya.
Aku hanya senyum-senyum malu, karena sebelumnya tidak sekalipun kulibatkan kedua orang tuaku untuk urusan percintaan. Tapi entah kenapa aku merasa kali ini harus mereka yang memutuskan.
"Nak Rahma anak yang baik, Bang?", pertanyaan mamak kali ini membuatku tersenyum lebar dan dadaku terasa sangat ringan.
"Dia sama bijaknya dengan Mamak dan Yah", itu adalah kesan yang aku dapatkan dari Rahma setelah mengobrol dengannya. Ditambah kalimat-kalimat positif tentang Rahma layaknya perjodohan dari Mas Arno dan Mba Tiara setelah pertemuan kami.
Ayahku mengambil kembali handphone dari tangan mamak. Wajah beliau memancarkan senyum yang sangat cerah. Sangat cerah sampai aku merasa ayah sangat tampan. Di belakang beliau kulihat mamak juga tersenyum seperti menertawakan kalimatku.
"Kenapa tak kau nikahi saja dia?", ayah berkata dengan penuh semangat. Kalimat itu membuatku bahagia. Aku tidak merasa berdebar seperti saat bertemu mantan-mantanku, sekarang hanya perasaan ringan yang membuatku terus tersenyum.
Tiba-tiba aku tersadar akan sebuah kenyataan "Yah, abang masih 24 tahun. Abang takut ditolak karena lebih muda, perempuan biasanya mengharapkan laki-laki yang lebih tua."
"Hati kalian seusia."
Entah kenapa aku mengamini kalimat singkat ayah. Biarkan aku tidur malam ini, dan besok akan kutemui Rahma.