Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Seperti biasa, aku selalu duduk sejenak di serambi masjid setelah menunaikan salat zuhur. Meski teman-teman kampusku mengecapku sebagai anak gaul, aku tidak mau meninggalkan kewajibanku. Beberapa mahasiswa yang lewat dan mengenalku, menyapa atau sekedar menganggukkan kepala. Aku membalas mereka dengan senyuman manis.
Aku terkesiap saat mendengar lantunan suara yang indah di sisi jamaah laki-laki. Lagi-lagi suara indah itu! Memang sudah beberapa hari, aku mendengar suara bak imam-imam Masjidil Haram itu. Merdu dan menggetarkan kalbu.
Terdorong rasa penasaran, aku mengintip ke sumber suara. Subhanallah! Bukan cuma suaranya yang indah, wujudnya pun manis, seperti kue lapis! Eh? Bukan, benar-benar seperti penggambaran orang tentang bidadara surga! Entahlah, yang jelas aku mulai mengagumi sosok itu.
“Kamu lagi ngapain, Fa?” Suara yang sepertinya kukenal, membuatku terkejut.
Aku cengengesan saat mendapati gadis bergamis cokelat dengan kerudung voal bermotif itu, menangkap “basah” aku yang sedang memandangi laki-laki tadi.
“Eh itu, anu … hehehe.” Aku masih kelimpungan.
Aku kembali duduk di serambi di sebelah gadis tadi, Malika.
“Kamu ngapain sih, Fa? Mengendap-ngendap kayak maling gitu?” tanya gadis itu lagi.
Aku tersenyum, lalu menjawab, “Aku habis lihat bidadara surga, Mal!”
“Maksudnya?”
Sekonyong-konyong laki-laki yang kubicarakan itu lewat, dadaku bergemuruh. Aku menurunkan ujung jilbab yang biasa kusampirkan ke pundak, lalu menunduk. Aku menyembunyikan pipi yang mulai menghangat.
“Eh, Bang Ridho, baru selesai?” Aku mendengar suara Malika menyapa seseorang.
“Iya, Mal. Kamu nggak ada jam kuliah?” Betapa terkejutnya aku, saat mendengar suara laki-laki yang sepertinya berdiri tepat di hadapanku.
Aku mendongakkan kepala. “Laki-laki itu!” gumamku dalam hati. Pria manis itu mengangguk, lalu tersenyum kepadaku. Ah! Sekarang, dadaku serasa mau meledak!
“Ya udah, aku duluan ya, Mal. Assalamualaikum!”
Setelah pria itu pergi, aku baru bisa bernapas normal dan mengangkat kepalaku lagi. Sementara itu, aku menangkap ekspresi seperti keheranan di wajah Malika.
“Kamu kenapa lagi, Fathiya?” tanyanya.
“Nggak ada apa-apa kok, Mal. Kamu kenal cowok tadi?”
“Kenal dong! Dia itu dosen baru di fakultas ekonomi dan calon kakak ipar aku.”
Aku masih belum percaya dengan apa yang kudengar, mataku terbelalak.
“Calon kakak ipar?” tanyaku.
“Iya, sebulan lagi tanggal pernikahannya.”
Seketika, dadaku seperti dihantam gelondongan kayu besar, aku melorot dari duduk tegakku. Kuusap keras wajahku dengan kedua telapak tanganku, sambil beristighfar.
“Kamu nggak kenapa-kenapa, ‘kan Fa?”
Masih menepuk-nepuk dadaku, aku menggelengkan kepalaku.