Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Jam 3 lebih 5 menit. Maya berjalan menuju gerbang Penanjakan. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh tempat. Karena langit masih cukup gelap, dia tidak terlalu bisa melihat.
“Maya!”
“Sudah lama menunggu?”
Dhika menggeleng. “Kita kesana? Aku sudah menyiapkan tempat untuk melihat sunrise.”
“Seberapa yakin kamu kalau sunrise pagi ini tidak mengecewakan?”
“Seyakin kalau kamu akan datang hari ini.”
Maya mematung setelah mendengarnya. Ada sesuatu yang berdesir di dalam dadanya.
“Jangan melamun, May. Itu semburat merahnya sudah mulai kelihatan.” Maya tergugah dari lamunannya dan langsung memasang kamera. Semburat merah yang muncul di ujung timur tampak kontras dengan langit yang masih gelap. Perlahan, semburat merah itu memudar menjadi warna oranye nyaris kuning. Gunung Semeru mulai terlihat di kejauhan sana.
-00-
Jeep yang ditumpangi Maya langsung menuju Lembah Jemplang. Maya melangkah turun bersama Dhika, saat Jeep sudah berhenti
“Kamu mau aku foto di sini, May?”
“Boleh.”
Dhika mencari posisi terbaik untuk mengambil gambar Maya. Dia memejamkan satu matanya dan melihat melalui viewfinder eyepiece kamera. Dari satu jendela kecil pada kamera itu, Dhika bisa melihat Maya yang sedang tersenyum ke arahnya. Di saat yang sama dia merasakan jantungnya semakin tidak berirama. Meski sejak tadi dia sudah menahan perasaannya, tetapi saat melihat Maya tersenyum ke arahnya. Dia sadar bahwa perasaannya pada Maya masih bertahan di hatinya selama lima tahun ini.
“Aku belum menanyakan kabarmu tadi.”
"Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?”
“Baik.”
“Aku senang kita bisa bertemu lagi setelah lima tahun berlalu.”
"Lima tahun telah merubah banyak hal,” balas Maya.
“Tetapi apa yang terjadi lima tahun yang lalu tetap akan menjadi bagian dari cerita kita. Juga, cerita kita hari ini.” lanjut Maya.
“Ilalang ini akan menjadi saksi bahwa kita pernah datang ke sini, membuat cerita indah dan menyimpannya sampai nanti.”
Maya melirik ke arah jam tangannya. Sudah saatnya, pikirnya.
“Apakah sudah waktunya?”
“Ya, sudah waktunya aku kembali.”
Dhika menunduk. Tidak ada senyum lagi di wajahnya.
“Bolehkah aku memelukmu sebentar, Dhik?” tanya Maya pelan sembari menatap Dhika-- berharap. Sementara Dhika langsung memeluk Maya dengan erat.
“Aku harus pergi, Dhik. Senang bertemu denganmu lagi di sini.” Dia berusaha tersenyum meski matanya berair. Dia juga langsung berbalik dan berjalan menuju ke Jeep yang mengantarnya tadi.
Sementara Dhika masih menatap punggung Maya yang semakin lama semakin mengecil dan hilang saat masuk ke dalam jeep. Tangannya mengepal kuat saat Jeep melaju cepat meninggalkan area Lembah Jemplang. Seandainya saja dia mencegah Maya kembali ke Bali.
-00-
Mobil yang mengantarkan Maya kembali ke Bandara Juanda meninggalkan area Jiwa Jawa Resort. Perlahan mobil melaju melewati jalan berliku dan menurun tajam. Sesekali mobil berguncang karena jalan yang berlubang. Namun, Maya tidak mempedulikannya. Perhatiannya tertuju sepenuhnya pada pesan yang sedang dibacanya. Meski sudah dibaca berulang kali, kalimat demi kalimat ini terasa menyakitkan.
Maya, aku mencintaimu lebih dari apapun. Namun, cintaku tidak pernah cukup untuk membawamu ke pelaminan. Hanya karena kita pergi ke tempat ibadah yang berbeda, aku gagal membawamu ke pernikahan. Maafkan aku, May. Maafkan aku yang tidak bisa melewati batas itu. Semoga upacara pernikahanmu besok berjalan lancar.
-00-