Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Mengikhlaskan atau meninggalkan?"
Aku tertegun, sama sekali tak menengoknya. Laki-laki yang sebelumnya kulihat tatapan sendunya, di bawah naungan aroma petrikor. Kami sama-sama menghirupnya. Saat ini. Dan aku tak lagi menikmati aromanya ketika terseruput ucapan singkat itu.
"Apa bedanya?" aku sedikit melawan. Ya, untuk ucapan yang sebelumnya terdekap di relung ketakutanku. Tapi aku melawannya dengan berucap, "Jangan pergi."
Aku bergetar.
"Ini hanya sementara?"
"Aku tak bisa janji."
Sesenggukan mulai mendatangiku, aku bahkan tak menyadari ia telah menyodorkan tisu untukku.
"Dapat dari mana?"
"Lebih mementingkan tisu, menjaga kebersihannya, dari meratapiku kembali?"
Aku membuang wajah darinya, pada rintik hujan di depanku yang mulai pelan. Ia saja masih sempat-sempatnya berulah. Apa salahnya? Memang benar aku tak yakin, ia yang selalu sedikit memasukkan sesuatu pada tas selempangnya, tak pernah kutemui tisu.
"Jangan menangis, hujan jadi reda."
"Maksudmu?"
"Bukannya, seharusnya hujan semakin deras karena ikut bersedih?"
"Salah," ia tertawa kecil, "Karena jika ingin menyembuhkanmu, ia tak boleh sama-sama terlihat terluka."
Aku kembali tertegun. Memahami ucapannya bukan untuk hujan. Itu seperti dia sendiri.
"Aku tak pernah bermaksud meninggalkanmu, tapi aku harus mengikhlaskanmu."