Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Biar kau tahu perihnya dunia memperlakukanmu. Biar kau tahu mengapa aku bisa menjadi seperti ini.”
Brukk. Maryam jatuh terkalang tanah diteras rumah. Pukul sembilan malam. Suasana pedesaan langsung menampar kaki-kakinya yang telanjang. Dingin.
“Jangan pulang malam ini, Maryam. Atau adikmu sekalian kujual di lepau-lepau pelabuhan!”
Maryam mencoba berdiri lagi. Pukulan itu telak mengenai dahinya, pandangannya kabur sesaat. Samar ia melihat sekitar, tak ada satu orangpun yang keluar malam itu, padahal teriakan Ibu tirinya seperti merobek mulut malam.
Sepuluh menit sebelumnya. Saat makan malam berjalan dengan lancar, tiba-tiba Parjo si Anak kepala desa, memaksa masuk rumah. Dengan takut-takut akhirnya Maryam membiarkannya masuk. Bukan karena ia ingin, tapi karena ia lebih takut jika anak kades itu berbuat nekat, perangai bejatnya itu sudah dikenal seluruh desa. Maryam menyuruh Pitaloka untuk segera ke kamarnya.
“Mana Ibumu, Maryam?” Parjo berjalan kearah kamar Pitaloka.
Sepasang kekasih gila. Gumam Maryam.
“Dia belum pulang. Behenti disana Parjo!”
Peduli setan. Parjo tetap berjalan kearah kamar Pitaloka.
“Parjo! Kuperingatkan kau!” Maryam mulai mengancam.
Sedetik senyap.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaa!” Pitaloka menjerit dari dalam kamarnya.
Maryam semakin panik berlari. Ia selalu tahu isi otak bajingan seperti Parjo.
“Sialan.”
Pintu terkunci dari dalam.
“Parjo!!! Sialan kau Parjo. Parjo!!!” Maryam mulai menangis. Suaranya serak berteriak pada tubuh pintu.
Plakkk!
“Heh sialan. Apa yang terjadi.” Ibu tirinya menampar dan menjambak rambut Maryam dari belakang. Ia mengadahkan mukanya diantara kebingungan-kebingungan raut Maryam.
ck tikus!
***
Breaking News.
Pembunuhan terhadap anak seorang Kepala Desa dusun **** yang dilakukan seorang Janda sedang diselidiki lebih dalam...
Suara radio itu pelan menelisik telinga Maryam. Ia tidak peduli dengan lelaki diatas tubuhnya.
“Hahahahahahahahahahah.”