Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Sepertinya aku sudah tidak tahan lagi." aku duduk di bangku dekat bianglala yang berputar. Penumpang di atas pasti sedang menikmati pemandangan laut biru, sama birunya dengan langit sore ini.
Lelaki di depanku hanya terdiam memandangiku. Ada genangan air mata pada sudut matanya. Ia menunduk ketika aku membalas tatapannya.
"Maaf." hanya satu kata itu yang selalu ia ucapkan setiap kali hal ini terjadi.
"Jika memang aku tak bisa melenyapkan mereka dari pandanganku, sebaiknya aku saja yang pergi." aku tertunduk. Sepatu putihku sedikit kecoklatan di beberapa sudut, terkena debu.
"Kenapa?" tanya itu seperti tak berhenti di sana. Tapi lelaki di depanku menelan kembali kalimat yang hendak keluar.
"Kau tahu jelas alasannya." aku menatapnya. Mataku sekarang memanas.
"Aku akan mencegah Fe agar tidak bergabung dengan kau dan Reihan lagi. Aku janji." kalimat itu seperti permohonan.
"Lalu apa kau bisa mencegah agar mereka tidak saling mencintai?" satu titik air mata telah meluncur di pipiku.
Salahku karena tidak pernah mengatakan perasaanku pada Reihan sejak awal. Persahabatan yang terjalin bertahun-tahun membuatku takut jika rasa cintaku padanya justru akan merusak hubungan kami. Hingga aku sadar telah membuat kekeliruan ketika Fe dan Hanan masuk di tengah persahabatan kami. Fe, ia menyukai Reihan, terlihat jelas di matanya. Juga Reihan, sahabat baikku sekaligus pria yang kucintai itu selalu memaksa untuk mengajak Fe disetiap kesempatan. Makan malam di rumahku, makan siang di dekat tempat kerjaku dan Reihan, pergi ke pantai, banyak lagi, juga pergi ke taman bermain hari ini.
Hanan, ia sahabat baik Fe. Ia terpaksa ikut bergabung kedalam lingkaran ini. Hubungannya dengan Fe sama dengan hubunganku dengan Reihan. Bedanya ia tak pernah mencintai Fe. Ia beruntung. Atau sebenarnya tidak.
Aku mendongak menatap bianglala yang masih setengah putaran. Buru-buru kuusap air mataku.
"Kami akan pulang lebih dulu." Hanan berkata tanpa persetujuanku.
Fe dan Reihan yang baru keluar dari area bianglala bertanya dengan ekspresi bingung.
"Yeri sedikit pusing. Ia kelelahan, mungkin karena lembur kemarin." Hanan membuat alasan asal. Aku diam saja.
"Oh oke. Hati-hati." ada kekhawatiran di mata Reihan. "Yeri, Segera hubungi aku setelah sampai rumah."
Aku segera berdiri. Kuraih tangan Hanan agar segera pergi dari sana.
Tangan hangat Hanan menggenggam tanganku. Mengalirkan kehangatan dari setiap gerakan. Aku tahu ia mencintaiku. Bohong jika kukatakan ia beruntung. Posisinya sama naasnya denganku
"Aku akan pergi. Itu keputusanku."
Genggaman tangan itu semakin kuat. Tak ada satupun kata yang terucap. Bibirnya terkatup rapat. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya meluncur di pipinya.
Malamnya ketika aku berkemas, satu pesan masuk. Dari Hanan.
"Kau boleh pergi. Tapi jangan pernah menghilang dariku. Aku selalu ada di setiap kau membutuhkanku."