Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Suara panggilan kepada seluruh penumpang pesawat kembali terdengar saat aku berjalan menuju pintu keberangkatan dengan membawa koper besar. Telah kuputuskan untuk mengambil libur panjang kali ini.
Dua tahun yang lalu ibu meninggal karena serangan jantung. Aku sangat terpukul, skripsiku hampir tertunda karena pikiranku yang tidak tenang saat itu. Untungnya abangku, bang Ryan, selalu menyemangati juga membantuku untuk menyelesaikannya. Dia bilang, ibu akan bangga jika aku dapat lulus tepat waktu.
Hal yang lebih menyakitkan adalah saat ayah memutuskan untuk kembali menikah dengan wanita muda saat ibu belum genap seratus hari pergi. Aku sangat kecewa, kukira lelaki itu akan setia atau setidaknya menunda hingga luka benar-benar tiada. Karena hal itulah, aku memutuskan untuk pergi bahkan sebelum wisuda.
Aku benar-benar membenci lelaki itu dalam waktu yang cukup lama. Aku tidak dapat menerima wanita lain menggantikan posisi ibu.
Dua tahun aku memendam rasa benci dengan mengasingkan diri. Sama sekali tidak pernah bertukar kabar dengan ayah. Bahkan bang Ryan tidak pernah kuberi ijin untuk membahas tentangku saat sedang di rumah. Entahlah, aku hanya tidak ingin lelaki itu menyebut namaku.
Beberapa hari yang lalu abang menelpon, dia bilang ayah sering menyinggung hal yang berhubungan denganku ketika mereka berbincang. Dia juga bilang kalau ayah telah mempersiapkan pembagian warisan untuk kami, kedua putranya bersama istri terdahulu juga untuk istri muda beserta putri kecilnya.
“Telpon ayah, Rey. Beliau merindukanmu,” ujar abang saat menelpon.
Aku sungguh tak minat, terlebih karena aku merasa sudah mampu mencukupi kebutuhan hidupku, aku tidak membutuhkan warisan apapun dari beliau.
Dadaku mendadak nyeri, selalu seperti ini saat aku mengenang kebodohan dan keegoisan yang hingga kini masih mendominasi otak dan bathinku. Sesekali kupandangi jam tangan yang telah menunjukkan pukul tiga sore. Jantungku berdegup cukup kencang saat membayangkan apa yang akan ku temui setelah ini.
“Ayah meninggal, Rey. Beliau ternyata selama ini mempunyai sakit kanker perut, tetapi menyembunyikannya dari kita. Tante Mira juga ternyata seorang perawat rumah sakit tempat ayah sering berobat. Dia selama ini menjaga ayah dengan baik. Ada hal yang perlu kamu tau, Rey. Ayah dan tante Mira menikah karena permintaan ibu.”
Kalimat abang saat menelpon subuh tadi masih terngiang di kepalaku. Pening dan sesak napas sekaligus kurasa.
Aku bodoh memang. Aku terlalu egois, terlalu menutup mata dan telinga mengenai hal yang terjadi. Aku bahkan masih tidak ingin menangis.
Aku segera pergi ke pemakaman setelah mendarat, kutemui abang yang pipinya telah basah karena semalaman menangis. Aku meminta maaf ribuan kali padanya.
“Jangan meminta maaf padaku. Ayo turun, ini mungkin waktunya untukmu memberikan bakti kepada ayah,”
Aku dan abang segera masuk ke lubang kubur untuk membantu proses pemakaman. Air mataku masih tidak menetes sedikitpun, tapi rahangku sangat kaku, mataku sangat panas. Kuharap, aku bisa menangis.
Ayah, kurasa aku sudah tak pantas untuk mengatakan maaf. Bahkan untuk memanggilmu ayahpun aku sudah tidak layak. Aku tidak akan berjanji tapi akan kumulai dari awal lagi. Akan kusayangi ibu dan adik tiri, juga kuperlakukan dengan baik sebagaimana mereka telah memperlakukanmu.
Ayah, aku tidak tahu lagi harus mengatakan apa. Aku hanya ingin ayah tahu, aku sangat mencintaimu.