Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Reiko membanting pintu apartemennya setelah masuk. Tidak keras, sebenarnya, tapi tidak bisa juga dikatakan pelan; cukup untuk melepas sedikit emosi yang menggelembung di dadanya.
Ia bersandar ke pintu sebentar sebelum tubuhnya melorot dan kemudian terduduk di lantai. Ia tatap apartemen kecilnya, yang tidak berubah semenjak ia tinggalkan tadi pagi, hanya sekarang tampak gelap. Malam telah tampak dari jendela yang hanya berjarak tiga meter di hadapannya, menawarkan kesadaran penuh kalau ia telah menambah satu hari dalam hari-hari hidupnya. Tapi Reiko merasa gamang.
Lemah ia bangkit. Melepas alas kaki dan melangkah menuju dapur. Di tengah jalan, langkahnya terhenti ketika ia menangkap bayangan cermin di samping kirinya. Ia melihat bayangan dirinya. Gelap, tapi kemudian menerang oleh terang jendela yang diikuti gemuruh mesin kereta api yang melaju menuju Tokyo--atau memasuki Fukushima? Entahlah, Reiko tidak peduli. Ia masih menatap bayangannya di cermin. Ia dekati cermin itu setelah kereta api lewat. Ia tatap dalam-dalam bayangan dirinya.
"Apa yang mau kamu lakukan dengan hidupmu, Nona?" katanya lirih.
Tentu saja bayangannya hanya mengikuti gerak bibirnya. Tidak akan menjawab.
"Jawab!" pekik Reiko meski kemudian ia merasa malu terhadap dirinya sendiri dan merasa bodoh.
Ia merunduk sesaat dan menarik nafas panjang sebelum menengadah dan menatap kembali bayangannya.
"Kamu akan seperti apa tiga puluh tahun yang akan datang, Nona?" ucapnya lirih. "Apa yang sedang kamu lakukan tiga puluh tahun yang akan datang?"
Ia tatap matanya sendiri yang mulai berkaca-kaca. Lalu ia melihat sekitar matanya mengeriput, keningnya pun mengeriput, pipinya yang menggelayut dan rambutnya yang memutih. Ia tatap Reiko yang telah renta.
"Kamu kebingungan, Nona?" Bayangannya menjawab.
Reiko mendengus, "Siapa yang tidak?"
Reiko tua tersenyum. Reiko muda menekuk sedih dan menangis.
"Apa yang akan kamu lakukan dalam posisiku?"
Reiko tua menggelengkan kepala. Pelan. "Aku hanya bisa bilang, ikuti kata hatimu."
Reiko kembali mendengus. "Selama ini aku ikuti kata hatiku dan lihat di mana aku sekarang!"
Reiko tua tampak meneteskan air mata, "Bedakan antara Kata Hati dan Hasrat, Sayang. Hasrat hanya membawa kegelisahan, perasaan kosong. Kata hatimu akan membimbingmu."
"Bagaimana aku bisa membedakannya?" pekik Reiko frustasi.
"Jujur, Sayang. Mulailah jujur dengan dirimu sendiri. Katakan yang benar walaupun pahit, rendahkan hatimu sebagai debu yang masih punya peran di alam semesta. Beranilah, Sayang..."
Bayangan Reiko memudar.
"Jangan pergi dulu!" pekik Reiko seraya meraih cermin. Cermin yang tak lagi menggantung di dinding, melainkan bertengger di lemari rendah yang terbuat dari kayu. Dan tangan yang meraih cermin itupun tak lagi muda.
Reiko tengah duduk bersimpuh di hadapan cermin. Ia tarik tangannya dan merasa malu pada dirinya sendiri, namun ia lanjutkan berkata, "Memang kita banyak melakukan kesalahan. Kita akui itu! Tapi kita tidak bisa menyesal. Tidak bisa! Hanya bisa belajar. Jangan pernah mau mengubah alur hidupmu! Kamu dengar, Nona?"
"Nenek?"
Pintu bergeser dan memperlihatkan wajah manis seorang gadis tiga belas tahun.
"Nenek bicara sama siapa?"
"Sama cermin," jawab Reiko tersenyum. Lalu ia mengulurkan tangan. "Keiko, tolong bantu Nenek berdiri."
Gadis itu menghampiri uluran tangan neneknya dan membantunya berdiri.
"Ayahmu sudah pulang?"
"Belum. Tapi Ibu sudah. Di dapur, sedang masak."
"Ayo, kita bantu."