Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di sebuah Kafe tampak dua sepasang kekasih duduk berhadapan dalam diam sejak sepuluh menit terakhir mereka bertemu.
Tak kuasa menatap lebih lama tatapan lembut sang kekasih, sang perempuan melepas kontak mata mereka. Menatap luar kaca jendela. Di luar sana hujan deras mengguyur kota mereka.
“Jadi apa keputusanmu, Abilla?” tanya sang pria dengan suara lirih. Tanpa bertanya dia sudah menebak jawaban dari gadis bernama Abilla itu. Air muka sendu dan diamnya gadis itu sudah menjawab semuanya. Namun dia tetap ingin bertanya. Memastikan. Siapa tahu tebakannya keliru. Kekasih yang sudah menemaninya selama tiga tahun itu bergurau.
Abilla menggigit bibir, berharap dapat mengurangi sesak yang tiba-tiba menggerogoti paru-parunya. Dia tahu jawaban yang akan dia berikan akan menyakiti hati pria di hadapannya itu. Juga hatinya.
“Jadi siapa yang kamu pilih? Aku atau pria yang tidak kamu kenal itu?” pria itu bertanya sekali lagi kalah tidak mendapat jawaban dari Abilla.
Pelan Abilla menoleh kepada sang kekasih. Tanpa bisa dicegah air matanya tumpah ruah, terisak, “Maaf. Maafkan aku, Akmal. Aku rasa hubungan kita cukup sampai di sini.”
“Jadi kamu lebih memilih pria itu?” Pria bernama Akmal bertanya lirih. Meski dia sudah menguatkan diri atas jawaban Abilla, tetap saja rasa sakit itu ada.
Abilla mengangguk lemah, “Ini semua permintaan orang tuaku. Mereka menginginkan aku agar menikah dengan pria itu.”
“Apa kamu tidak bisa menolak keinginan mereka?”
Abilla menggeleng. “Maafkan aku, Akmal. Maaf. Aku tidak bisa menolak permintaan mereka. Kebahagiaan mereka adalah kebahagiaanku.”
“Tidak bisakah kau memikirkannya lagi, Abilla? Aku mohon! Aku sangat mencintaimu. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu.” Tangan Akmal terulur meremas tangan Abilla.
“Keputusanku sudah final.” Abilla menggeleng seraya menarik tangannya. Dengan mata berkaca-kaca ia menatap pria di hadapannya, “Hubungan kita berakhir sampai di sini.”
Akmal merasa hatinya hancur. Dalam mimpi pun ia tidak pernah memikirkan bahwa hubungannya dengan Abilla akan berakhir seperti ini. Sudah terlalu banyak rencana yang sudah dirancangnya untuk Abilla. Dia bahkan sudah merencanakan untuk menikahi Abilla tahun ini. Tetapi takdir berkata lain. Akmal sangat menyadari jika ia tidak pantas untuk bersanding dengan Abilla, sang putri. Sedangkan dia hanya orang biasa saja.
Akmal menghela napas panjang, “Baiklah jika memang itu pilihanmu. Aku tidak bisa memaksa. Aku harap kamu bahagia. Kalau begitu aku permisi.”
Abilla menangis terseduh setelah kepergian Akmal. Dia pasti sudah gila memutuskan pria sebaik Akmal. Meski dia bukan pria dari kalangan atas, tetapi Akmal adalah pria yang bertanggung jawab. Pekerja keras. Namun Abilla tidak punya pilihan.
Orangtuanya meminta dia untuk menikah dengan pria yang jodohkan dengannya sejak kecil. Abilla sudah menolaknya. Sungguh. Mengatakan bahwa dia sudah memiliki Akmal. Mereka bahkan berniat menikah tahun ini. Tetapi dua hari yang lalu Arbi – Papa Abilla jatuh sakit karena penyakit paru-paru yang dideritanya semakin memburuk. Dia mengatakan bahwa Abilla harus menuruti permintaannya. Jika tidak, ia tidak akan pernah bisa pergi dengan tenang. Dan Abilla tidak berdaya untuk menolaknya sebagai bentuk kepatuhannya kepada orang tua yang sudah membesarkan dan merawatnya dari lahir itu.
Dan Abilla hanya bisa berharap Akmal menemukan wanita yang lebih baik darinya.