Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
TAKDIR CINTA
Kini, aku tahu mengapa gadis itu bersikeras menolak pertemuan. Meskipun selama ini aku sudah mengajak, dan menyakinkan dirinya mengenai niat baikku.
“Senja!” panggilku, saat berada tepat dibelakangnya.
Gadis berkerudung krem itu menoleh dengan kepala menunduk – hingga wajah itu hanya memperlihatkan sepasang alis melengkung dan bulu mata lentiknya. Sekilas tampak manis dan anggun. Namun ia seperti enggan untuk melihat wajahku. Entah. Malu atau takut. Melihat tingkahnya seperti itu membuatku tersenyum.
“Dasar gadis unik.” Aku bergumam sendiri disela menunggu gadis di hadapanku mengangkat wajahnya.
Kemudian sepasang bola mata bening itu membelalak. Membuat senyumku memudar serupa debu di jalanan yang baru saja tertiup oleh angin, lenyap.
Aku tahu saat ini dirinya terkejut, dan meminta penjelasan langsung dariku.
“Namaku Jingga.” Aku memperkenalkan diri – sebagai teman dunia maya yang selama ini dekat dengan dirinya.
Sepasang bola mata indah miliknya kembali membulat sempurna, seolah dirinya tengah menghardik seorang pencuri yang tengah tertangkap basah. Sementara, pelupuk matanya mulai dipenuhi kaca-kaca bening yang siap meluncur. Benar saja air mata itu luruh membanjiri pipi bersihnya. Hanya saja ia masih bergeming.
Sebagai seorang pria aku hanya bisa menunggu waktu yang tepat untuk bersuara demi menghindari kesalahpahaman. Karena, cara berkomunikasi aku dengan dia berbeda.
Berulang kali punggung tangan itu mengusap air mata yang sebenarnya percuma, karena ujan takkan reda hanya seseorang menginginkannya. Begitu pula dengan air mata miliknya.
Mengapa kamu begitu bersedih dengan kehadiranku?
Kedua tangan yang tampak lembut itu kini berganti – bergerak-gerak teratur seperti tengah merangkai sebuah kalimat. Aku mengamati dengan saksama, sambil mencoba mengingat gerakan tangan Zaliandra – adik perempuanku yang mengalami gangguan pendengaran – ketika tengah belajar bersama gurunya di ruang tamu.
“Kamu tidak perlu meminta maaf,” ucapku, setelah gerakan tangan itu terhenti. “I love you to, ibu guru Zaliandra.” Sepasang bola mata itu kembali membelalak, terkejut.