Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sepasang manusia berbeda gender itu tidak berani memandang satu sama lain, melainkan hanya diam dalam tundukan. Keduanya dipisahkan oleh sebuah meja makan yang di atasnya terdapat undangan pernikahan dan piring-piring kotor sisa makan malam bersama keluarga mereka setengah jam yang lalu.
"Ini sebuah kecelakaan." Si pria membuka suara.
"Ya, aku setuju."
"Kecelakaan yang luar biasa."
Wanita itu mendongak sebentar untuk menatap pria di seberangnya, lalu menunduk lagi. "Apa kamu menyesal?"
"Menyesal? Tentu tidak. Kita mencintai satu sama lain, 'kan? Hanya tidak siap menghadapi esok." Pria itu mengakhiri ucapannya dengan tawa yang hambar.
Wanita itu mengembuskan napas dan menegakkan tubuhnya. Ia menatap pria itu lamat-lamat sampai si pria menyadarinya.
"Kita berteman baik sejak kecil. Kita bergantung satu sama lain. Maksudku, kita memang mengatakan cinta untuk sama lain. Tapi ini berbeda."
Pria itu mengangguk-angguk dan beralih menatap nama yang tertera di undangan tersebut. Nama mereka terukir sangat cantik dengan warna keemasan.
"Apa yang kita punya, bukan cinta. Bukan cinta dalam artian yang romantis, tetapi rasa nyaman terhadap satu sama lain," lanjut si wanita itu mengingat si pria tidak kunjung bicara.
"Undangan sudah disebar dan kita baru menyadari perasaan masing-masing." Pria itu merespons dan tertawa hambar—lagi.
"Lucu, ya. Kita akan menikah besok," gurau wanita itu. "Menurutmu apa kita akan bertahan?"
"Kita jalani dulu saja. Setelah kupikir-pikir semalaman, mungkin kita memang ditakdirkan bersama. Kamu bisa apa tanpa aku, dan aku bisa apa tanpa kamu?"
Si wanita tertawa karena ucapan pria di seberangnya. Momen-momen yang mereka lalui di masa lalu membayang di kepalanya seperti film dokumenter. Ia mengingat jelas semuanya; tentang hal-hal buruk yang menimpanya, dan bagaimana pria itu selalu datang di waktu susahnya. Serta bagaimana dirinya akan kerepotan ketika mendapati pria itu sedang dalam masalah. Semua itu terasa manis di ingatan.
"Iya, sebenarnya tidak masalah kalau kita menikah. Toh, kamu dan aku tidak sedang mencintai orang lain, 'kan?"
Si pria mengangguk sambil mengeluarkan sesuatu dari kantong kemejanya. "Then, let's make it official." Ia menyodorkan kotak beludru pada si wanita. "Will you marry me?"
Wanita itu tertawa geli kala menemukan cincin di dalamnya. Itu cincin emas asli, yang katanya dibuat khusus sesuai dengan ukuran jari dan dengan model yang tidak biasa pula. Ada ukiran huruf awal mereka berdua yang menjepit satu berlian kecil di sana.
"Ini menggelikan, tapi kamu melakukannya dengan sangat baik. Ekspresimu bagus, mungkin kamu bisa debut sebagai aktor."
Pria itu memutar kedua bola mata dengan wajah kesal. "Walau di hadapanmu, ini tetap memalukan. Sebaiknya segera jawab dan ambil cincinnya."
"Yes!" Wanita itu memekik dan setelahnya mereka berdua tertawa. Ketika pasangan lain gugup menantikan pernikahan mereka, dua orang ini justru menganggapnya sebagai sebuah lelucon dalam hidup mereka.