Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kala berjalan dengan gontai tanpa memedulikan keramaian di sekitarnya.
Dirinya memikirkan apa yang harus dilakukan. Namun, sia-sia. Sekeras apa pun Kala berusaha, pikirannya tidak mau mengalah mengikuti kata hati.
Terdengar setiap langkah kaki yang sibuk menambah temponya. Tapi tidak dengan milik Kala. Seakan tidak mendapat instruksi, langkah kakinya malah melambat dan terhenti.
Sebuah tetesan air jatuh di pipi Kala. Kala menengadahkan kepalanya. Tetesan itu pun berubah menjadi hempasan air yang disebut hujan.
Tidak terlintas untuk berlindung, Kala memejamkan matanya. “Harus … apa …?” ucapnya parau.
Kala membiarkan tubuhnya kuyup dengan harapan tubuh itu dapat membantu hati dan pikirannya untuk bersatu kembali. Perlahan, hempasan air itu berganti menjadi sebuah rangkulan.
Merasakan perubahan itu, Kala membuka matanya dan melihat seseorang dengan cemasnya berkata, “Kenapa hujan-hujanan begini?”
Kala sadar dirinya sudah berteduh di bawah payung yang sama dengan pria yang ingin ia jadikan pendamping hidup. Setidaknya, itulah hasil kesepakatan yang dirembukkan oleh pikiran dan hatinya sebelum hari ini.
“Gema…,” bisik Kala.
Gema merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sebuah saputangan. Dengan penuh sayang, Gema menghilangkan air yang menyelimuti wajah Kala menggunakan saputangan itu.
Kala memegang pergelangan tangan Gema membuat Gema menghentikan aktivitasnya dan menatap Kala.
“Aku nggak bisa…,” ucap Kala tanpa membalas tatapan Gema.
Gema terpaku. Kekhawatirannya bertambah saat mendengar degup jantungnya mulai berlari mencoba mengalahkan suara derasnya hujan.
Gema tidak menyukai perasaan ini. “Hmm?” gumamnya singkat.
Kala mengambil napas dalam, mencoba menyembunyikan perasaannya, lalu mendongak menatap Gema. “Aku nggak bisa menikah sama kamu.”
Gema menatap Kala dalam, mencari penjelasan.
“Leukimia.”
Gema terkejut mendengar kata itu. Kata yang masih membuatnya trauma sampai saat ini.
“Akut,” tambah Kala lagi.
Sekumpulan air mulai memenuhi mata Gema, yang kapan saja siap terjatuh.
“Kamu cerita sama aku, apa aku ada ngelakuin salah? Tunggu…. Nggak…. Semua salah aku. Aku salah, Kal. Aku akan memperbaiki semuanya. Jadi please apa yang barusan kamu bilang nggak benar, kan? Nggak, kan?” Gema menggenggam erat lengan Kala.
Kala hanya terdiam. Pandangan matanya mulai kabur karena terhalangi air mata.
“Kal…,” lirih Gema. “Oke kalau kamu memang mau mengakhiri hubungan kita. Tapi kamu tahu kalau kamu… kamu nggak bisa pakai alasan itu… penyakit itu….”
Kala melepaskan genggaman Gema, lalu mengeluarkan sebuah amplop dari tasnya.
Gema memandangi amplop dengan logo rumah sakit kanker tersemat di depannya itu. Air mata yang sedari tadi dibendungnya pun mengalir.
Rangkaian peristiwa yang membuat Gema trauma mulai berputar di pikirannya layaknya sebuah film. Bagaimana mamanya menderita saat mengidap penyakit itu, bagaimana mamanya berusaha menyembunyikan rasa sakit dengan senyumannya setiap melihat anak semata wayangnya, sampai bagaimana mamanya mengembuskan napas terakhir.
“Kamu berhak bahagia, Ge.”
Gema menatap Kala.
“Kamu berhak untuk tidak mengalami kembali itu semua. Dan… dan ini keputusan aku untuk kebahagiaan aku juga,” ucap Kala meremas erat amplop yang digenggamnya.
Langit sore itu seperti memberikan restunya. Hujan deras mulai berubah menjadi rintik-rintik. Kala pun pergi meninggalkan Gema yang masih tak berkutik.
Mencium bau darah, Kala menggesekkan telunjuk ke filtrumnya. Kala membersihkan darah itu, lalu menghapus deras air matanya.
“Ini yang terbaik, Kal,” yakininya pada diri sendiri dan kembali melangkah pergi.