Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Garis-garis gerimis menetes lembut saat aku melihat Bulan berdiri di bawah tiang lampu. Dia menengadah memandang langit. Pendar merkuri membasuh wajahnya. Saat aku menghampirinya, dia memandangku.
Hai, mau ke mana?
Aku mengangkat bahu, lalu berdiri di sampingnya. Bulan mendekat. Setetes cahaya menghias langkah kecilnya. Aku selalu terpesona dengan caranya berjalan—seperti menari. Dia mengenakan gaun kuning panjang dan tudung mantila seputih salju. Tidak terlihat perhiasan apa pun kecuali matanya yang teduh.
Kebiasaanmu sungguh aneh, dia menutup mulutnya untuk menyembunyikan tawa. Sementara yang lain berlindung di balik selimut saat hujan hujan mulai turun, kamu malah pergi jalan-jalan.
Aku menawarinya payung. "Kamu sendiri malah berdiri di bawah tiang lampu, bukan menghias langit seperti malam-malam sebelumnya."
Bulan mengamit lenganku dan menyandarkan kepala di pundakku, membuat langkahku jadi gugup. Aku ingin menghiburmu, katanya. Kau terlihat kesepian.
Sudah pukul sepuluh malam ketika kami melangkah di sepanjang trotoar. Senyap mengisi seluruh kota. Meskipun dingin menusuk kulit, kami tidak merasakan gigil. Seperti biasa, ketika bersamanya, jantungku berdenyut lembut, aroma tubuhnya menenangkan pikiran. Dengan langkah seiring, kami genggam gagang payung bersama. Tangannya yang mungil menangkup tanganku.
Apa yang biasanya Bulan dan manusia bicarakan saat bertemu? dia tiba-tiba memandangku dan bertanya.
"Entahlah, biasanya kami hanya diam dan memandangmu penuh damba."
Dia menjulurkan jarinya untuk merasakan tetesan hujan membasahi telapak tangannya. Tapi bukankah begitu pun menyenangkan? Berjalan berdua, tanpa memusingkan harus menyampaikan apa. Lagipula, kata-kata hanya membuat kita tak lagi menikmati saat ini. Kata-kata menciptakan waktu. Dan waktu membentuk pertemuan—dan karenanya menyebabkan harapan, lalu harapan menghancurkan segalanya menjadi keping-keping.
Dia benar. Jadi, kami pun berhenti bicara.
Tak butuh waktu lama, kami sampai di persimpangan. Aku memintanya membawa payungku, tapi dia menolaknya.
Kau kan tahu, aku tak akan basah sekalipun kehujanan.
“Tapi aku memaksa.”
Dia melambaikan tangan sambil memainkan payung yang disandarkannya di bahu. Bye-bye, katanya.
"Sampai bertemu lagi."
Aku menyenandungkan Over the Rainbow, lalu menyembunyikan tanganku di saku. Seraya bernyanyi di sepanjang trotoar yang kosong, aku merasa lukaku terobati. Betapa Bulan sudah berbaik hati menghiburku. Dalam hujan yang semakin rapat, aku tak lagi peduli kau tak ada di mana pun. Aku hanya ingin bernyanyi hingga air mataku tak lagi mengalir.
Di suatu tempat di seberang pelangi
jauh dan tinggi
ada tempat yang pernah kudengar
hanya dalam buaian.
Di suatu tempat di seberang pelangi
langit selalu biru
apa pun yang berani kauimpikan
menjadi nyata di situ