Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku mengendap-endap di rumah bergaya klasik dengan lampu kristal yang tergantung di tengah langit-langit. Menapaki setiap anak tangga berlapis kayu dengan berjingkat, memastikan tak ada suara. Saat tiba di undakan terakhir, kulihat sekelebat bayangan seseorang menuju pintu kaca yang entah akan membawanya ke mana. Aku menoleh ke kanan mendapati dapur yang kucari sejak tadi, tapi rasa penasaran menghilangkan rasa haus hingga kuikuti bayangan itu. Melewati pintu kaca yang membawaku ke sebuah halaman luas penuh rumput yang dipotong rapi. Mungkin ini taman belakang rumah.
Di luar masih gelap dengan udara yang berembus dingin, membuatku bergidik. Sepertinya masih tengah malam, aku ingat sebelum turun sempat melihat jam dinding di ruang tengah yang menunjukkan pukul 00.15. Kulihat beberapa orang berpakaian serba hitam, sekitar lima orang. Aku bersembunyi di balik bonsai dengan batang besar dekat orang-orang itu. Mereka seperti sedang mengerumuni seseorang. Apa yang sedang mereka lakukan?
Aku semakin merapat pada bonsai tempatku bersembunyi saat mendengar langkah mendekat. Bukan ... bukan ke arahku, melainkan ke kerumunan itu. Mereka membuka jalan untuk seseorang yang baru saja tiba, dia ... pria tampan yang semalam menolongku. Pria yang kuingat bernama Andreas itu mengeluarkan sebuah pisau. Ditusukkannya pisau itu kepada orang yang berisimpuh dengan tangan terikat ke belakang dan wajah penuh luka dihadapannya lalu dia lemparkan kalung dengan bandul tengkorak pada tubuh yang tergeletak bersimbah darah itu. Perutku terasa mual dan aku berpegangan pada pohon di hadapanku untuk menenangkan diri. Aku ingat jelas dengan kalung itu, jadi orang yang sedang terluka itu ... tidak atau mungkin sudah tewas adalah pria yang semalam ingin membunuhku? Tapi kenapa? Mungkinkah ... .
Aku tersadar dari lamunanku dan mulai mengintip lagi. Pria yang terluka tadi digotong oleh orang-orang berpakaian serba hitam, tapi aku tidak menemukan Andreas. Di mana dia? Aku mundur bersiap lari dari rumah ini. Aku tidak mau menjadi korban selanjutnya.
Napasku tercekat melihat Andreas sudah berada di hadapanku saat aku berbalik. Dia tersenyum padaku. Wajahnya sangat tampan dengan alis tebal dan hidung mancung, tapi tatapannya persis seperti singa yang siap menerkam mangsanya. Aku seperti tikus yang terjebak.
"Kau sedang apa di sini?" Suara rendah dan seraknya membuatku merinding.
"A-aku ... ."
"Kau melihat semuanya?“
Ya Tuhan! Apakah hidupku akan berakhir malam ini?
"Apa kau akan menghabisiku juga?" tanyaku terbata.
Aku memejamkan mata pasrah saat Andreas menarik pinggulku. Kubuka mata saat tidak merasakan benda tajam. Dengan rasa heran melihat Andreas mengangkat sebelah alis tinggi-tinggi, aku bertanya, "Kenapa kau tidak menghabisiku?"
Aku melebarkan mata saat dia mengecup bibirku sekilas dan berkata, "Aku tidak akan mengahibisimu atau mungkin belum."
"A-apa—"
"Kau akan hidup bersamaku. Karena kau ... tawananku."
Belum sempat mencerna perkataannya, Andreas sudah menarikku lebih dekat. Bukan kecupan seperti yang dia lakukan sebelumnya, melainkan ciuman panas yang baru pertama kali kurasakan. Aku berusaha mendorongnya menjauh dengan memukul-mukul dadanya, tapi dia justru menekan tengkukku hingga aku hanya bisa terpejam, membiarkannya melakukan apa pun pada bibirku. Andreas mencecap, melumat, bahkan menggigit hingga aku refleks membuka mulut. Dia belitkan lidahnya pada lidahku, membuat melayang, menghadirkan ribuan kepak sayap kupu-kupu dalam perurku. Aku ... terlena.