Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ledakan pertama terdengar di dekat stadion bola. Ledakannya memekakkan telinga. Diikuti oleh aroma gas air mata yang ditembakkan. Hidungku mencium aroma yang sangat menyengat. Panas sinar mentari di pukul 16.00 WIB masih terasa membakar di kulit.
Aku seorang Polwan. Aku ditugaskan menjaga pertandingan sepak bola. Siapa sangka pertandingan ini menjadi rusuh. Dentuman senjata peringatan terus terdengar. Aroma gas air mata dan petasan berpadu bercampur-baur jadi satu tercium sampai luar stadion tempatku bertugas.
Tiga teman polisi priaku sudah lari ke dalam, meninggalkanku seorang diri dalam kebingungan. Sore ini aku mengenakan pakaian dinas lapangan lengkap berikut rompi dan helm. Ada sebuah pentungan terikat erat di pinggangku berikut sebuah pistol laras pendek. Pistol dan pentungan itu sejenak kulirik ketika kedua mataku menangkap sebuah kejadian sedang berlangsung.
Seorang penonton sepak bola berbaju hijau kabur dikejar oleh puluhan orang suporter lainnya berbaju merah. Dia lari tunggang-langgang ingin menyelamatkan diri, mereka mengejar dan melemparinya membabi-buta. Mereka siap melukai laki-laki itu.
Laki-laki berbaju hijau lari ke arahku. “ Tolong, Ibu!” Pekiknya.
“Tolonglah saya!” serunya lagi sambil bersimpuh di kakiku.
Puluhan laki-laki yang mengejarnya semakin mendekat. Mataku menangkap beberapa di antara mereka membawa batu serta kayu. Mereka ingin menghantamkan senjatanya ke arah laki-laki malang yang bersimpuh di bawah kakiku.
“Jangan!” teriakku kepada mereka.
“Jangan sakiti dia!” teriakku lagi.
Tetapi mereka tidak mau mendengar. Mereka sudah kalap. Marah. Berhadapan dengan seorang wanita berseragam polisi lengkap pun tidak memulihkan kesadaran mereka.
Mereka terus berlari mendekat.
Salah seorang di antara mereka mengayunkan kayu, hendak memecahkan kepala laki-laki di bawahku. Aku tidak punya pilihan.
Kaki kananku terangkat lalu mengayun menggunakan kekuatan pinggang dan menendang telak kepala sang pemegang kayu, hingga terjerembab. Puluhan orang kesetanan lainnya datang mendekat.
“Hentikan!” teriakku lagi.
Lag-lagi mereka tidak mau mendengar.
Aroma kemarahan mereka tercium lebih memuakkan di hidungku dibandingkan bau keringat mereka.
Dengan rona wajah semerah darah, lima orang maju hendak menghajar laki-laki itu. Dua lagi ingin menghantamku dengan batu bata di tangan. Aku melihat jelas aksi dua orang yang ingin menyerangku. Salah seorang dari mereka mengayunkan tangannya mencoba menghantamkan batu bata ke kepalaku. Aku merunduk. Memastikan ayunan tangannya menghantam angin, kemudian bangkit menghujamkan tendangan kaki kiri menusuk langsung rahangnya. Laki-laki penyerang pertama tumbang seketika.
Penyerang kedua yang kaget melihat temannya roboh. Seketika kutarik tangannya dan kupelintir sampai roboh ke tanah. Jatuhnya dua orang tadi membuatku dapat melihat lima orang bergerak bersama mencoba mengeroyok secara pengecut laki-laki berbaju hijau yang tidak berdaya.
Kuambil pistol di pinggang, kemudian kubuka pengamannya dan menembakan satu peluru ke udara.
Doooorrr.
Nyaringnya suara tembakan menggetarkan gendang telinga mereka. Mereka semua tercekat. Kaget. Ciut nyalinya setelah telinga mereka mendenging. Mereka semua yang terkejut, bersamaan menatapku.
Dengan tatapan tajam kulihat mereka satu demi satu kemudian kukatakan selantang mungkin, “ hentikan kebodohan kalian!”