Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Mari kita menikah, Nea,” ajakku suatu hari saat kami sedang berbaring di padang rumput. Dia merebahkan kepala di atas lenganku.
“Nea tidak mau, Bang. Nea takut,” lirihnya. Aku menarik tubuh Nea semakin dalam ke dekapan. Dia menurut. Dalam jarak sedekat itu, aku bisa mencium wangi khas tubuhnya.
“Apa? Apalagi yang masih saja kau takutkan, Nea?”
Nea terdiam. Matanya terus menerawang ke atas. Langit bertabur bulan bintang, tetapi bagiku semua hanya kehampaan. Kami berkemul hening yang cukup panjang. Aku mengecup keningnya lembut perlahan, tetapi dia masih juga terdiam.
“Ibu sudah meninggal, Nea. Tidak akan ada lagi yang bisa menghalangi kita.”
“Cinta tak selamanya seperti dongeng yang selalu berakhir bahagia, Bang,” balas Nea. “Nea takut kisah orang tua Nea terulang lagi. Mereka kawin lari dan berakhir tragis.”
“Nea, Abang sudah lama menginginkannya. Bukankah kau juga, hm?”
Nea membenamkan wajah di ceruk leherku makin dalam.
“Abang sudah muak dengan semua kepura-puraan yang sia-sia ini,” ujarku. Kudengar Nea mulai bersenandung kecil lagu pengantar tidur yang biasa kunyanyikan untuknya.
“Abang benar-benar tak mengerti, Nea. Apalagi yang masih kau cemaskan?” gerutuku sedikit kesal.
“Nea, dengarkan Abang!” Aku mengentakkan badan kecil Nea dari pelukan. Tanganku mencengkeram lengannya kuat-kuat. Dia berhenti bersenandung.
“Kaulah perempuan yang Abang sayangi selain Ibu. Ibu telah pergi, jadi hanya tinggal kau seorang.”
“Nea tahu itu, Bang,” Nea tersenyum kecil. Ia kembali mendekap tubuhku. Tangannya dingin, tetapi aku sangat menyukai saat dia membelaiku dengan kuku-kuku cantiknya itu.
“Nea tidak bisa,” katanya sambal menatapku. “Nea takut Abang menjadi lebih gila dari sekarang ini.”
“Apa maksudmu, Nea?” Kurasakan ulu hatiku nyeri. Sepertinya penyakit lambungku kambuh. Napasku mulai tersengal-sengal.
“Abang benar-benar tidak tahu?” tanya Nea polos.
Apa sih yang sedang dibicarakannya?
Aku benar-benar bingung dan tidak mengerti. Lagi-lagi sakit di ulu hatiku terasa kian nyeri. Aku tidak bisa menahannya lagi dan akhirnya mengerang kesakitan. Kutatap Nea yang sudah melepas dekapan dan kini duduk bersimpuh.
“Nea, kau berdarah.” Aku tergagap ketika melihat tangannya bersimbah merah. Suaraku seperti tersangkut di tenggorokan. Aku menatap ke bawah. Kulihat darah keluar tepat dari ulu hatiku. Aku balik menatap Nea dan bisa kulihat kuku-kuku panjangnya tampak berkilat di bawah temaram sinar bulan.
Nea perlahan tersenyum menyeringai ke arahku. Sesaat kemudian dia tertawa. Awalnya begitu pelan dan ragu-ragu. Akan tetapi, lama-kelamaan tawanya menjadi amat kencang dan mengerikan. Aku menutup telinga rapat-rapat, tetapi tawanya tetap berhasil menerobos.
Nea, kesayanganku. Oh, aku mencintai Nea. Nea tidak mungkin menyakitiku. Nea juga mencintaiku. Tidak mungkin.
“Nea menunggu Abang dalam keabadian.”
Nea mulai bangkit dari duduknya dan berdiri. Dia lantas berjalan menjauh. Aku mencoba bangkit dan menggapainya, tetapi dia makin jauh. Bayangannya lantas menghilang ditelan kelam malam.
Ah, dasar iblis! Mungkin aku memang tidak pernah benar-benar mengenal adik sesusuanku ini.