Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Ibu nggak mau itu.” lirih wanita tua yang duduk di ranjang kayu. Jarinya yang saling menaut di atas selimut, tampak kian keriput. Mata layunya menatap lurus tapi makin tampak menghunus. Tiga putranya berdiri bersisian, menenteng banyak bawaan sedatangnya dari ibukota.
“Ini kain tenun langka, Bu. Ibu bisa membawanya ke penjahit dan membuat pakaian dari itu. baju yang ibu kenakan di pengajian sudah tampak lusuh. Sudah selayaknya Ibu mengenakan pakaian baru.” Ucap putra pertama sembari membentangkan kain mewah bercorak kilau emas. Sang Ibu menggeleng pelan.
“Ibu, biskuit ini didatangkan langsung dari negeri penghasil gandum terbaik di dunia. Aku dengar ibu mulai kesulitan mengunyah dan tidak nafsu memakan makanan barang satu pun. Biskuit ini sangat renyah dan mudah lumer saat dimakan.” Sahut putra kedua menunjukkan sekotak biskuit mahal. Bau susunya menguar sedap bersamaan dengan aroma adonan gandum yang dipanggang. Lagi-lagi sang Ibu menggeleng.
"Lalu Ibu maunya apa?" tanya putra ketiga membuat sang Ibu menoleh.
"Ibu cuma ingin mati."
***
Hening lama menyelimuti kamar Ibu. Ketiga anak terpaku dan saling melempar pandang.
"Ibu tak boleh bilang begitu." kata putra kedua.
"Lalu yang boleh Ibu katakan apa? Ibu tidak ingin apa-apa. Ibu hanya ingin mati."
Pilu terpancar dari mata rentanya. Tapi tak ada bulir air mata. Suaranya sama sekali tak tercekat. Keinginan sang Ibu bulat. Tak terbantahkan. Namun meremuk-redamkan perasaan ketiga anaknya.
"Mana bisa kami mewujudkan keinginan Ibu. Sedangkan hidup dan mati bukan milik kami. Seandainya pun bisa kami kabulkan, betapa terkutuknya kami meniadakan Ibu dalam hidup kami." ujar putra pertama dengan tangan gemetar.
"Bukannya Ibu memang sudah tiada di hidup kalian?" sahut Ibu, "Pekerjaan dan harta yang kalian elu-kan itu bukankah telah menjadi Ibu dan Tuhan kalian yang baru?"
Ketiga putra sang Ibu beralih bersimpuh. Betapa dahsyat peringatan sang Ibu hingga menggentarkan ketiganya. Pelupuk mata mereka basah. Kepala mereka tertunduk. Sekujur tubuh mereka bergetar hebat. Bagai disabet pedang, darah duniawi yang mengalir di nadi ketiganya seolah mengucur seperti pipa bocor. Tangan renta itu menjulur membelai ketiga putranya bergantian. Terisak di kaki ranjang.