Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Sebentar lagi aku mati,” katanya dengan serius.
“Darimana kau tahu?”
“Kakiku mulai mati rasa.”
Aku terdiam sejenak, tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Kupikir dia sudah tidak waras.
“Kau ingat si Baron?”
“Temanmu yang di selatan?” tanyaku.
“Ya. Dia mati tiga hari yang lalu. Tidak ada yang tersisa di selatan, semuanya mati.”
Lagi-lagi aku tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Yang jelas, aku sangat terkejut. Kalau yang dikatakannya benar, maka kabar mengenai wabah yang menyerang daerah selatan bukan lagi gosip belaka.
“Aku juga mendengar suara dengungan,” ucapnya lagi.
“Dengungan?”
“Ya… seperti… nngggg… seperti itu.”
Seperti percakapan kami yang sudah-sudah, aku kembali tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Sedikitpun aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan.
“Kau sungguh akan mati?” Kali ini aku bertanya dengan penuh rasa empati.
“Ya,” katanya.
“Berapa lama lagi?”
“Mungkin lima menit, badanku sudah sangat lemas.”
“Aku turut berduka.”
“Terima kasih, tapi aku belum mati.”
Aduh-aduh, batinku. Aku tidak paham sebenarnya dia jadi mati atau tidak.
“Boleh aku minta tolong?” Tahu-tahu dia kembali bicara.
“Apa?”
“Kalau aku mati bisakah kau merawat Joni?”
“Burung peliharaanmu?”
“Ya,” katanya, “Joni tidak punya siapa-siapa. Kalau aku mati biarkan dia tinggal di tempatmu.”
Aku tidak membalas, tapi menyetujui permintaan terakhirnya. Setelah itu kami terdiam untuk beberapa saat. Dari kejauhan terdengar suara gemuruh yang lama-kelamaan semakin keras. Bertepatan dengan itu, tubuh sahabatku akhirnya tumbang.
Sepuluh menit berselang aku mulai mendengar suara dengungan. Kini giliran kakiku yang mati rasa. Aku melirik ke bawah, dan kulihat beberapa malaikat maut sedang mondar-mandir dengan gergaji mesin ditangannya. Ah, benar kata mereka, tidak ada yang bisa kulakukan kalau wabah sudah menyerang. Dengan sisa tenaga kubilang pada Joni kalau dia sebaiknya mencari pohon lain untuk ditinggali.
“Maaf aku tidak bisa menepati janji.”