Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kulihat, dia dan teman-temannya berjalan membelah jalanan koridor. Mata para gadis pun seketika terpusat kepada mereka. Tak terkecuali aku. Ah, parah, aku begitu menyukainya.
Namanya Zicko. Satu sekolah tentu sangat mengenal dia. Bagi kentang rebus sepertiku, dia tentu tidak bisa tergapai. Apalah dayaku ini, hanya wanita miskin berwajah tidak terlalu cantik.
Hingga suatu waktu, aku mendengar kabar bahwa keluarganya bangkrut. Ia bahkan menyewa rumah kontrakan di samping rumah kontrakanku. Kamu tahu? Aku tentu sangat bahagia ketika aku bisa mendekat kepadanya.
Di sekolah, tak ada lagi yang ingin berteman dengannya. Seluruh teman mengejeknya, mereka takut jika bergaul dengan Zicko, mereka akan menjadi jatuh miskin seperti Zicko. Astaga, kejam sekali.
Perlahan, aku semakin mendekat pada Zicko. Kami mulai berangkat sekolah bersama. Aku juga selalu mengajaknya ke kantin. Teman-teman wanitaku pada menyuruhku untuk menjauhi Zicko, karena termakan rumor itu, tetapi, aku tidak peduli. Toh, aku sudah miskin, aku tidak perlu takut untuk menjadi miskin.
Sampai suatu ketika, Zicko mengajakku ke sebuah taman. Dia membelikanku permen kapas warna merah muda, ah dia tahu kesukaanku.
"Makasih," ucapku sembari menerima permen kapas itu. Zicko menggeleng pelan.
"Gak, gue yang harusnya bilang makasih ke elo," sahut Zicko. Aku seketika mengernyitkan dahi.
"Kenapa? Memangnya gue sudah berbuat baik apa ke elo?" tanyaku bingung.
"Karena elo, udah mau berteman sama gue, walaupun lo tahu, gue udah jadi cowok yang miskin," ujar Zicko. Aku seketika terkekeh pelan.
"Hahaha apaan sih. Miskin doang, toh itu bukan penyakit menular yang mematikan bukan? Lagipula, teman sejati itu tidak memandang harta dan kasta, teman sejati selalu menerima baik buruknya kita, kalau dia datang pas baiknya doang dan meninggalkan pas dalam kondisi terburuk, itu bukan teman sejati, itu cuma teman yang numpang lewat doang hahaha," balasku disertai candaan.
"Lo ternyata beda ya dari cewek-cewek lain," sahut Zicko.
"Ya jelas beda, setiap orang tuh terlahir dengan karakter yang berbeda-beda. Jangankan karakter, sidik jari aja beda-beda kok," ceplosku.
"Tiara, lo suka gak sama gue?" tanya Zicko. Dengan rona merah di pipi, aku menganggukkan kepala.
"Gue suka sama lo dari dulu. Dari zaman gue menginjakkan kaki di sini, gue udah suka sama lo," sahutku malu-malu.
"Oh, kenapa lo gak deketin gue?" tanya Zicko.
"Ya, gue mah sadar diri. Elo terlihat jauh banget gak tergapai. Gue takut, elo malah jadi ilang feeling deh sama gue," sahutku.
"Gue kan burik dan miskin, gak pantes sama cowok the best kayak elo," imbuhku.
"Cih, apaan sih, gue kan udah miskin," ceplos Zicko sembari tertawa kecil.
"Tapi, itu membuka gue buat bisa dekat dengan lo, Zicko. Makasih ya, lo udah mau dekat sama gue. Kalau lo gak suka sama gue juga gak papa kok, gue sadar diri," timpalku.
"Gue suka sama lo, lo yang menerima gue dengan apa adanya," sahut Zicko. Tentu saja, aku sangat senang.
Sampai akhirnya, di sekolah, aku kembali melihat Zicko di antar dengan mobil. Ia kembali terlihat bersinar. Dan untuk pertama kalinya, dia datang menghampiriku yang berdiri di antara para gadis.
"Tiara, maaf, udah bohongin lo. Sebenarnya keluarga gue gak bangkrut, itu hanya rencana gue doang," ujar Zicko.