Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Seorang dokter paruh baya dengan sedikit janggut putih dan rambut setengah beruban terlihat sedang memeriksa seorang anak kecil berusia sekitar 1 tahun dengan kondisi terkulai lemas.
"Ibu ini ibunya kan?"
"Mmm .... Saya ...," Yona berbicara terbata-bata.
Prasetyo yang tepat berada disampingnya menginjak kaki kiri Yona pelan sambil menganggukan kepala dan memicingkan matanya.
"Sayaaa .... Iyaa ...," Yona mengiyakan pertanyaan dokter itu.
"Bu, kenapa ibu baru bawa anak ini sekarang? Demamnya sangat tinggi sampai 40°, ia juga dehidrasi. Kondisinya sangat lemah, jadi harus dirawat untuk beberapa hari."
"Maaf dok, saya tidak punya biaya jika anak saya harus dirawat," Prasetyo menunduk.
"Gak bisa pak, anak ini butuh perawatan intensif agar kondisinya tidak tambah parah," dokter itu berbicara dengan nada tegas.
"Saya mohon dok, ijinkan saya membawa pulang anak saya untuk merawatnya dirumah, saya akan membawanya pulang nanti malam." Prasetyo kembali menawar.
Dokter itu menggeleng-gelengkan kepalanya, tampak kesal.
"Baiklah, jika bapak tetap memaksa pulang. Saya akan berikan resepnya, tapi bapak harus menandatangani surat pernyataan bahwa jika ada apa-apa dengan anak ini, kami tidak bertanggung jawab.
"Baik dok."
Suasana hening sesaat setelah dokter keluar dari ruangan.
"Ma, nanti mama mau kan rawat Yusuf?" Suara Prasetyo memecah keheningan.
"Maksud Papa?" Yona tampak heran.
"Iya ma, nama anak ini Yusuf. Papa minta tolong selama Yusuf sakit Mama bantu rawat dirumah, Mama kan udah pengalaman. Sementara Ibunya cuma bisa nangis di rumah. Dia tak tahu apa-apa soal merawat anak," Prasetyo mencoba menjelaskan tanpa merasa bersalah.
"Pa, mama aja ga tahu ini anak siapa? Kenapa Papa nyuruh Mama rawat anak ini, dirumah juga Mama sudah repot Pa merawat Lily dan keempat kakaknya."
"Yusuf ini anak Papa, Ma." Ucap Prasetyo datar.
"Apaaaa?" Teriak Yona terkejut.
Bagai Petir menggelegar di siang bolong, membakar sekujur tubuhnya yang tiada berdaya. Perlahan detak jantungnya mulai melemah, nafasnya mulai terhenti seketika. Yona menelan salivanya dan berusaha tegar untuk tak lagi meneteskan air mata untuk laki-laki hidung belang dihadapannya itu.
"Apa tak cukup kau membuatku menderita Pras? Kau sudah membuat aku keguguran anak kita yang keenam. Sekarang kau mau menambahkan luka dihatiku Pras dengan memintaku merawat anak maduku?" matanya membulat dan tangannya tampak mengepal menahan amarah
"Aku tahu aku salah ma, Papa minta maaf. Tapi untuk kali ini tak ada pilihan lain. Tolonglah, demi kemanusiaan Ma. Yusuf ga berdosa Ma.
"Gila kamu Pras, kamu memang keterlaluan."
"Papa mohon Ma!" Pras masih merajuk dengan wajah tanpa dosa.
"Oke, aku mau rawat dia, tapi kau janji akan melepaskanku setelah anak ini sembuh. Dan jangan pernah temui aku lagi sampai kapanpun."
"Aku memang tak bisa memberikanmu anak laki-laki dan mungkin itu yang membuatmu berpaling dariku. Tapi apa tak cukup aku melahirkan 5 anak untukmu?bahkan hampir saja melahirkan yang keenam." Yona tak sanggup membendung genangan air bening di pelupuk matanya.
Menjadikan anak sebagai alasan mempertahankan rumah tangga yang penuh luka ini bukanlah hal yang tepat menurutnya. Lebih baik berpisah daripada harus hidup bersama lagi dengan lelaki tak punya hati itu. Ia yakin Tuhan tak akan pernah meninggalkannya.